Esai: Pemakaian dan Popularitas Bahasa Melayu di Awal Abad ke-19

Dari Melayu Riau Kepulauan ke Bahasa Indonesia (1)

Pemakaian dan Popularitas Bahasa Melayu di Awal Abad ke-19

Oleh Hasan Aspahani


“Raja yang adil itu terlebih baik daripada hujan yang lebat dan raja yang aniaya itu terlebih jahat daripada fitnah yang kekal senantiasa”, yaitu seperti hujan habu di tanah Sumbawa, Gunung Tambora, yang tiada boleh tumbuh tanam-tanaman pada bumi itu. (Abdullah bin Muhammad Al-Misri dalam “Arys Al-Muluk”, 1809).


SEBERAPA luaskah pengaruh, penyebaran, dan pemakaian bahasa Melayu di nusantara? Dari seorang penulis yang terlupakan namanya kita bisa tahu situasinya pada awal abad ke-19.

Namanya Abdullah bin Muhammad Al-Misri. Ia meninggalkan lima karya yaitu Bayan Al-Asma’, Hikayat Mareskalek, ‘Arsy al-Muluk, Cerita Siam, Hikayat Tanah Bali. Semua ditulis di antara tahun 1809 hingga 1845.

Monique Zaini-Lajoubert meneliti dan menelaah karyanya yang kemudian terbit dalam “Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad Al-Misri” (Komunitas Bambu bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2008).

Dari tahun penulisan karya-karyanya kita tahu bahwa Abdullah hidup sezaman dan menulis beriring waktu bahkan mendahului Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1796-1854). Tapi nasib keduanya berbeda.

Penulis Melayu-Keling Abdullah Munsyi semarak dirayakan dan termasyhur, ditahbiskan sebagai pelopor jenis sastra perjalanan, sementara Abdullah Al-Misri, penulis Melayu-Arab di seberang Selat Malaka yang menulis lebih dahulu benar-benar terlupakan. Winstedt tak menyebutnya, Hooykaas mengutip karyanya tapi tak menyebut namanya, Braginsky pun sama sekali tak membahasnya.

Al-Misri adalah ulama, penulis, pedagang, dan pengelana. Dari karyanya kita tahu ia pernah menetap di beberapa tempat dan berada di banyak tempat di nusantara. Ia juga melakukan perjalanan ke Siam (sekarang Thailand), sebagaimana ia tuliskan.

Ia menjalin hubungan dengan penguasa Hindia Timur hingga Hindia Belanda yang dalam masa 15 tahun di awal abad ke-19 itu berganti empat kali, dari VOC, diambil alih pemerintah Belanda, lalu periode Prancis dengan Gubernur Daendels, lalu zaman Inggris dengan Raffless, kembali ke Belanda lagi.

Ia juga berhubungan dengan penguasa setempat yang ia kunjungi atau memintanya datang. Beberapa nama daerah dan kerajaan ia sebutkan dalam karyanya. Kerajaan Bugis, Mataram, Palembang (daerah asalnya), Ternate, Surabaya, dan Bali.

Ia diketahui pernah menetap di Kedah, Pontianak, Batavia (belajar pada sepupunya yang adalah seorang ulama). Ia juga menyebutkan sedikit keterangan bahwa dia meneap di Besuki dan menjadi pedagang. Jejak kepenulisan dan riwayat Abdullah Al-Misri hilang setelah ia berkunjung dan menulis Hikayat Tanah Bali.

Karyanya Bayan Al-Asma’ berisi pedoman pemberian nama pada kerabat dan keluarga kerajaan ia tulis untuk Raja Kutai. Cerita Siam ia tulis setelah ikut pelayaran ke Siam, mengikut seorang pedagang yang dikirim oleh Daendels. Almisri menjadi juru tulis dalam pelayaran itu.

Seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Melayu yang sudah maju. Ia memasukkan kosa kata Arab, bahasa yang tentu sangat ia kuasai. Di seluruh daerah yang ia kunjungi, ia berkomunikasi dengan para penguasa setempat dengan bahasa Melayu. Ia menulis laporan dalam aksara Jawi dan Latin, tapi keduanya dalam bahasa Melayu.

Seluas itulah pemakaian bahasa Melayu pada kurun tahun itu. Seberapa penting dan luas pengaruh karya Almisri? Dua karyanya disalin di Kerajaan Riau Lingga. “Hikayat Mareskalek” disalin oleh Encik Ismail anak Datuk Karkun, juru tulis di Kantor Residen Riau di Tanjungpinang.

Adapun “Arsy Al-Muluk” disalin di Pulau Penyengat Inderasakti oleh Moestafa bin Entjek Ismail. Penyalinan ini penting sebab itulah yang terarsipkan dan terdokumentasikan hingga bisa dipelajari kini.  Ikhtiar menyalin itu menunjukkan karya Al-Misri adalah karya yang penting untuk disimpan, dipelajari, dan diperbanyak.

Di awal tulisan ini diambil contoh satu pargraf dari karya Abdullah Al-Misri. Tampak gaya dan kelancaran jalannya bahasa Melayu yang dipakainya.  Monique Zaini-Lajoubert menyebut selain tetap memakai bentuk hikayat, khazanah sastra Melayu lama itu, Almisri memperbaharui dengan memasukkan reportase, catatan perjalanan, juga data dan fakta, seperti peristiwa meletusnya Gunung Tambora itu. 

Yang juga menarik adalah pengarang ini menyebut nama Aflatun (Plato), dan Aristatalis (Aristoteles), selain Al-Gahazali, dan nama-nama ulama yang banyak ia rujuk.(bersambung)

Bacaan:  Monique Zaini-Lajoubert , “Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad Al-Misri” (Komunitas Bambu bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2008).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *