Esai: Pesona Daging Pipih Merah Jambu Berair

Oleh Hasan Aspahani

MARI kita nikmati dahulu puisi Ilham Wahyudi “Tamsil” yang hendak kita bicarakan ini.

Tamsil yang kau sodorkan
Serta-merta mengunci dalil
yang aku tawarkan.

Meski lidahmu tergolong muda yuwana
namun daging pipih merah jambu berair itu
cukup mahir menjinakkan kata.

Hingga kata yang sudah kuhunus
sekonyong-konyong lunglai
tersungkur di tubir kalimat.

Surabaya, 2020

(Sumber: Baca Petra, 20 Juli 2020)

Kepada puisi saya kerap kali datang dengan percaya diri berbekal sejumlah teori. Dengan sejumlah dalil yang bagai perangkat bedah atau pisau siap mengoperasi dan bila perlu mencincangnya.

Tapi di kali lain, di hadapan puisi yang istimewa saya hanya bisa terpukau. Dan itu cukup.

Saya teringat momentum pertama kali membaca utuh puisi Sapardi Djoko Damono “DukaMu Abadi”.

Membolak-balik buku puisi itu ketika saya SMA kelas 1, saya terpesona belaka.

Saya terpikat pada cara bagaimana Sapardi menggunakan kata yang semuanya saya kenal, dengan susunan kalimat yang juga biasa saja, tapi menawarkan makna yang tak bisa langsung saya tangkap. Yang tertunda-tunda, mengulur-ulur jarak dengan degil.

Puisi “Tamsil” (2020) karya Ilham Wahyudi ini menghadirkan kembali momen keterpukauan tersebut.

Bolak-balik menelusuri tiga bait terzet yang longgar ini, saya terpukau belaka. Betapa banyak kemungkinan pemaknaan yang bisa saya berikan.

Mula-mula, cara mudahnya, ini bisa dibaca sebagai semacam cara canggih seorang penyair mahir mengekspresikan penghayatan atas penglaman erotis, misalnya.

Tapi, ah tentu tak semudah itu, Kawan.

Puisi ini, ibarat tamsil baru yang disodorkan padaku, yang membuat perangkat puitika yang biasa saya pakai menulis dan membaca puisi, jadi tak berguna, “…mengunci dalil / yang aku tawarkan”.

Puisi yang istimewa, seperti puisi Ilham ini, menawarkan pengucapan yang segar, terselamatkan dari klise yang melusuhkan bahasa, seamsal “lidah nan muda yuwana”.

Lidah, atau kemampuan mengucapkan cara ucap yang sedemikian itulah yang melahirkan citraan atau imajeri yang segar, sesegar “daging pipih merah jambu berair” yang “mahir menjinakkan mata”, menaklukkan kejalangan imajinsiku sebagai pembaca, tapi dengan serta-merta pula meliarkannya kembali.

Terus saja begitu, pendapat yang hendak kubangun, kalimat yang siap pakai yang biasanya otomatis keluar dari pikiranku setelah membaca puisi jadi tersungkur, setelah lunglai sekonyong-koyong.

Saya memilih berdamai. Membiarkan diri larut dalam keterpukauan, hanyut dalam keterpesonaan. Catatan ini adalah pengakuan atas kepasrahan itu.

Ilham, saya kira, melengkapi atau menemani khazanah metapuisi kita, seperti yang antara lain lebih dahulu dibuat oleh Goenawan Mohamad (“Kwatrin tentang Sebuah Poci”, 1973) dan Subagio Sastrowardoyo (“Mata Penyair”, 1993).

Jakarta, 14 Desember 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *