Skandal Sulak dan Guci Pandora Sastra Kita (3)
Oleh Hasan Aspahani
Setiap kali saya membaca cerpen yang cukup baik di koran, selalu terasa bahwa ia berlebihan. Cerpen itu berada di luar iklan-iklan, gambar-gambar dan berita-berita – dan sekaligus ia pun berada di tengah-tengahnya. Seperti sesuatu yang ganjil di antara hal-hal yang setiap hari terjadi dengan biasa. ~ Sapardi Djoko Damono, “Tentang Kegairahan Menulis dan Mutu Tulisan Kita Dewasa Ini”, 1972; dalam Budaya Jaya, 1973).
SETELAH pernah terjadi “banjir roman” di akhir tahun 1930-an, yang memicu polemik soal jumlah yang berlimpah dan tentu saja mutunya, maka di negeri ini barangkali cerpen menjadi bentuk karya sastra yang paling populer. Ketika majalah-majalah sastra tak bisa menampung produksinya yang berlimpah, koran umum dan majalah hiburan memberinya tempat. Terjadilah kompromi pada peristiwa itu: para penulis menyesuaikan karyanya dengan “keumuman” dan unsur “hiburan” dalam karyanya. Media umum dan hiburan itu memberi imbalan lebih lekas dan kesempatan pemuatan yang lebih besar.
Kapankah itu terjadi? Perlu penelitian yang memadai untuk menetapkan saat yang lebih tegas. Akan tetapi, kita bisa menebak dahulu bahwa itu kira-kira terjadi setelah majalah-majalah sastra tak bisa bertahan. Majalah-majalah khusus sastra seperti Kisah, Sastra, Zenith, Cerpen, terbit silih berganti dan akhirnya tutup.
Terjadilah apa yang dengan gagah disebut oleh Suwarna Pragolapati sebagai “ekspansi sastra ke majalah hiburan”. Ia menulis artikel dengan judul itu persis, di majalah Basis, 1973. Kira-kira tak berselang lama setelah Sapardi menangkap gejala itu sebagai sesuatu yang “berlebihan” sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.
Apakah ekspansi itu? Suwarna menceritakan tentang surat yang ia terima dari Budiman S. Hartoyo, pada suatu hari di tahun 1972. Si pengirim surat mengemban tugas sebagai managing editor di sebuah majalah umum dan hiburan. Ia lalu mengirim surat ke banyak orang yang ia kenal sebagai pengarang. Isinya ajakan dan undangan untuk mengirimkan tulisan. “…majalah Metro mengharapkan karangan-karangan hasil sastra khususnya cerpen yang bermutu.”
Ulrich Kratz, memilih tulisan itu masuk dalam “Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX” (KPG, 2000). Dan saya kira artikel itu memang penting, terkait isu sosialisasi sastra lewat media, khususnya media umum dan hiburan. Saya teringat dan membaca kembali artikel itu sehubungan apa yang saya sebut “skandal Sulak” yang membuka guci pandora sastra kita dan inilah persoalan yang keluar dari situ.
Pada bagian pertama tulisan ini saya sebutkan, bukanlah kewajiban media umum dan hiburan untuk menyediakan halamannya bagi pemuatan karya sastra. Kalau pun itu dilakukan, dan kemudian menjadi semacam kelaziman bahkan keharusan, dan sastra – khususnya cerpen – pun seakan-akan amat tergantung perkembangannya pada “sumbangsih” koran umum itu, maka niat awalnya barangkali bisa kita tengok dari surat Budiman S. Hartoyo itu.
Koran hiburan itu “berjanji” tak menuntut penulis untuk “mengorbankan nilai sastra” lantas mementingkan “nilai-nilai hiburan”. Sebab, tulis Budiman, Metro justru hendak menampilkan sebanyak-banyaknya hasil karya sastra kepada pembaca yang lebih luas.
Kita ulang: kepada pembaca yang lebih luas! karena diyakini bahwa: Komunikasi melalui majalah hiburan antara pengarang/sastrawan dengan publiknya akan lebih memungkinkan, — dan karena karya sastra itu akan lebih banyak dibaca —-, daripada misalnya kalau cuma melulu majalah-sastra yang peminatnya adalah minoritas itu. Jadi, pemuatan cerpen bernilai sastra di majalah umum kala itu adalah solusi dari persoalan yang juga selalu jadi sumber kecemasan “keterpencilan sastra”.
Langkah untuk membawa cerpen bermutu sastra ke “pembaca yang lebih luas” itu harus kita bilang berhasil pada setengah pekerjaan, pembaca memang meluas, tapi yang sampai pada mereka bukanlah melulu “karangan-karangan hasil sastra khususnya cerpen yang bermutu”.
Pada dekade berikutnya, beberapa sudah ada sejak dekade sebelumnya, berkembang pesat majalah gaya hidup (Femina, Matra, dll), berbagai majalah hiburan (Vista, Selecta, Varia), bahkan khusus cerpen remaja (Anita Cemerlang), dan tentu di surat-kabar akhir pekan (Kompas, Sinar Harapan, Jawa Pos, dll). Bisa dibilang, nyaris tak ada koran dan majalah umum dan hiburan yang tak memuat cerpen. Ada kebutuhan pembaca untuk melahap cerpen yang harus dipenuhi oleh pengasuh media. Cerpen punya daya jual. Apalagi kemudian lahir dari situ beberapa nama besar yang menambah nilai jual cerpen dan medianya.
Sastra koran – untuk menyebutnya secara umum – menjadi tren, dan menjadi dominan, bahkan sampai ada yang menyebut menghegemoni perkembangan sastra, khususnya cerpen. Mungkin itu terjadi sejak awal tahun 1990-an. Ketika itu Kompas, yang mulai memuat cerpen sejak 1967, memulai tradisi memilih cerpen terbaik tahunan, diterbitkan dalam satu buku, dan dibuat perayaan peluncurannya. Kompas pun menemukan atau merumuskan ulang alasan menghadirkan cerpen saban minggu itu.
Pada pengantar kumpulan terbaik 2014, Kompas menganggap bahwa menulis cerpen tak hanya memenuhi hasrat manusia untuk bercerita, tetapi juga memberi wadah akan kepentingan latihan intelektual sejak dini. Sangat menjadi harapan besar di kemudian hari lahir generasi yang mahir bernarasi, juga cakap dalam kemampuan olah pikir. Pada tahun itu melesat satu nama pengarang muda yang cerpennya terpilih menjadi yang terbaik: Faisal Oddang. Dan malam perhelatan pengumuman cerpen terbaik Kompas itu seakan menjadi FFI-nya orang sastra. Harus dilihat bahwa ada taktik dagang di situ, yang disinisi hanya mengukuhkan keberadaan “selebriti” atau elite sastra. Selalu ada ketidakpuasan memang. Seperti apa yang kemudian terjadi. Penulis baru dengan bakat-bakat besar, dan semangat menyala bermunculan, dan itu bagus dan sehat. Tapi halaman koran yang cuma beberapa lembar dan cuma hadir di akhir pekan itu terasa tak cukup lagi. Perebutan untuk mendapatkan kesempatan terbit semakin ketat. Gugatan dan ekspresi ketidakpuasan mulai bermunculan.
Yang dilakukan A.S. Laksana (Sulak) barangkali adalah gema dari ketidakpuasan itu. Kenapa yang dimuat hanya nama-nama itu? Kenapa mutunya semakin buruk? Kenapa susah sekali nama baru menembus seleksi pemuatan? Itu keluhan dari dulu kala, tapi tak sepenuhnya benar juga. Beberapa nama pengarang bagus muncul dari “tradisi cerpen koran”. Sementara banyak juga yang belakangan tak lewat jalur itu. Ada juga yang terus mengembangkan diri tanpa mengandalkan lagi pemuatan di surat kabar.
Tapi ya itulah gong berkarat hendak ditabuh lagi, mengulang suara lama yang sesungguhnya makin lemah frekuensinya. Media-media itu sedang sulit, sedang menghadapi persoalan hidup mati. Majalah gaya hidup dan tabloid hiburan bertumbangan, dengan atau tanpa sastra. Sastra tak bisa menyelamatkan koran umum itu. Ketika efisiensi harus dilakkan yang ditutup lebih dahulu adalah halaman sastra. Imbalan dipangkas, redaktur luar diberhentikan. Yang bertahan pun megap-megap. Koran umum pun sedang menahan diri dari terjun bebas, dan berusaha sedapat mungkin meraih apapun yang bisa dipegang agar tak jatuh lebih dalam, syukur-syukur bila bisa menemukan cara untuk merangkak naik lagi, apapun caranya.
Pada suatu edisi di tahun 1974, majalah Horison, memuat empat cerpen, wawancara dengan pengarang, dan satu ulasan atas cerpen-cerpen itu. Semua cerpen adalah karya Budi Darma. Harry Aveling mengulas karya Budi Darma, dan wawacara itu dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono dengan Budi Darma. Rasanya Horison tak lagi pernah melakukan itu, terhadap pengarang lain. Sapardi Djoko Damono, berada di balik keputusan Horison edisi Budi Darma itu. Ia menulis pengantar sehingga kita paham apa alasan yang melandasi itu. Budi Darma telah menulis banyak di Horison hingga saat itu dan punya nama sebagai penulis cerpen. Sementara masih banyak karyanya menumpuk di laci redaksi, kata Sapardi.
Budi Darma, 37 tahun kala itu, sedang matang kepengarangannya, sedang menggila produktivitasnya. Ia kirim banyak cerpen bagus ke Horison. Kalau tidak dimuat sekalian dalam satu edisi, maka tiap edisi selalu akan ada karyanya, sebab cerpennya memang istimewa. Hal-hal yang demikian tak mungkin dilakukan Kompas, atau Jawa Pos, dulu, nanti, dan apalagi sekarang. Kita bahkan harus bersiap dan merelakan saja apabila kelak koran-koran itu menutup halaman sastranya. Apakah media digital bisa mengambil alih peran sosialisasi karya sastra itu? Kita bisa coba susun jawabannya, tapi bahwa sastra koran masih juga digugat, dengan kata lain dituntut untuk bisa bekerja lebih memuaskan, tampaknya ada hal yang tak terselesaikan oleh Internet dan disrupsi media digital.
Cerpen telah hadir dengan kukuh di halaman koran. Barangkali, kita melazimkannya, tak lagi merasa itu sebagai sesuatu yang “berlebihan” sebagaimana perasaan Sapardi pada 1972. Yang berlebihan barangkali ada harapan dan tuntutan pada koran umum, dan lupa bahwa itu bukanlah tugas utamanya. Meskipun sekian dekade mereka melakukan itu dengan gagah, dan menyebut apa yang mereka lakukan itu pemberi “latihan intelektual sejak dini, melahirkan generasi yang mahir bernarasi, dan cakap dalam kemampuan olah pikir”.
Atas upaya itu, kita – siapa pun kita yang peduli pada kehidupan dan perkembangan sastra – layak mengucapkan terima kasih, dan apabila mereka berhenti melakukannya, kita harus pikirkan dan upayakan cara lain, mengembalikan ekspansi itu, agar sastra tak ikut berhenti berkembang karenanya. (bersambung)
Bacaan:
- Sapardi Djoko Damono, “Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan”, (Gramedia, Jakarta, 1983).
- U. E. Cratz, penyusun, “Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesis Abad XX” (Gramedia, Yayasan Adikarya Ikapi, Ford Foundation; 2000).
- Cerpen Pilihan Kompas 2014 – Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon (Penerbit Buku Kompas, 2015)
- Horison, April 1974, Thn. Ke-11.
Baca juga:
Esai: Skandal Sulak dan Guci Pandora Sastra Kita (1)
Esai: Skandal Sulak dan Guci Pandora Sastra Kita (2)
Esai: Skandal Sulak dan Guci Pandora Sastra Kita (4 – habis)