Hasan Aspahani
Apa guna sajak? Mengingatkan kepada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri, kata Subagio Sastrowardoyo. Dan, “Kalau aku mampus, tangisku yang menyeruak dari hati akan terdengar abadi dalam sajakku yang tak pernah mati,” katanya dalam sajak lain. Sajak bagi Chairil adalah alamat kemana ia menuju setelah lari dari gedong lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan.
Sajak bagi Goenawan Mohamad adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Sajak adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.
Tema tentang sajak, baik tersurat guratnya dalam sajak atau hanya tersirat seratnya, atau bahkan cuma bisa kita tafsirkan saja salah satunya sebagai sajak tentang sajak, hampir selalu ada ditulis oleh setiap penyair. Mungkin ini sebagai wujud kekariban. Atau persembahan untuk sajak itu sendiri. Chairil, Subagio dan Goenawan yang kita jejaki sajaknya di atas hanyalah sebagian contoh. Cobalah jejaki sajak para penyair lain.
Ketika menggubah sajak tentang sajak, yang terangkut sebenarnya bukan hanya sajak. Tapi juga hidup yang dihayati oleh penyair. Ya, sajak adalah kehidupan. Keduanya sangat dekat. Keduanya saling ada di dalam keduanya: sajak ada dalam kehidupan dan kehidupan ada dalam sajak. Sajak adalah alat yang bisa sangat bermanfaat untuk merumuskan rumit dan samarnya kehidupan.
Sitok Srengenge, pasti bukan kebetulan jika ia menempatkan dua sajak berikut ini di urutan pertama dan kedua dalam buku berisi 45 sajaknya “Anak Jadah” (Garba Budaya dan KITLV, Cetakan Pertama, November 2000). Dua sajak ini juga menerjemahkan apa peran sajak dan penyair bagi hidupnya dan kehidupan manusia. Sebenarnya selalu ada yang puisi dalam segala sesuatu yang bukan puisi. Dan peran luhur kepenyairan bisa dijalankan oleh siapa saja yang bukan penyair. Sebaliknya penyair yang mengaku paling penyair pun bisa saja menempuh jalan lenceng: keluar dari jalur luhurnya, tak lagi menjadi dan menjadikan rahasia dalam kata, tak lagi menjelma dan menjelmakan tanda atas fana.
Sitok Srengenge
KATA PUISI
Layang-layang limbung dalam angin
dan angin lalu lalai dalam angan,
barangkali abadi dalam puisi
Tapi puisi bukan limbung layang-layang,
bukan angan lalai atau angin lalu
Puisi leluasa hinggap atau terbang,
kata-kata punya sayap dan pijakan
Gamang di kegelapan, tergenang bayang-bayang
dan bayang-bayang menjadi halusinasi,
mungkin imaji dalam puisi
Tapi puisi bukan kegelapan,
bukan remang bayang-bayang
Puisi bisa samar atau benderang,
kata-kata punya mata dan cahaya
Batu-batu beku berlumut
dan lumut lumat dalam mulut berkabut,
boleh jadi inspirasi bagi puisi
Tapi puisi tak bisu karena takut,
tak kabur ketika kalbu kalut
Puisi berani nyanyi atau marah,
kata-kata punya nyali, urat dan darah.
1986
Sitok Srengenge
SOLILOKUI PENYAIR
ke mana kau mengungsi
jika rumah ini tak lagi bisa dihuni
Pergi membawa diri
sadar sudah tak ada rumah bikin betah penyair resah
Di mana kau singgah
jika tubuh ini tak lagi mampu melangkah
Samadi di sunyi puisi
menjadi rahasia dalam kata, menjelma tanda atas fana
Ke mana kau bergulir
jika di tanah tempatmu lahir kau dicibir, diusir
Takdir penyair tegak di pinggir:
batas laut dan daratan, di mana rindu akhir berdesir
1986