Membaca “Seteru Kata”: Sebuah Permainan Pertaruhan

Oleh Hasan Aspahani

BERKOMUNIKASI, upaya memanfaatkan bahasa itu, bisa juga dipandang sebuah pertaruhan dengan risiko antara bisa dimaknai atau gagal dimengerti.

Risiko pertaruhan itu makin meningkat, dan permaiannya makin asyik, ketika komunikasi itu dilangsungkan lewat puisi, pemakaian bahasa yang hendak memaksimalkan pemanfaatan potensi bahasa itu sendiri.

Iin Farliani mengajak saya bermain dengan permainan seperti itu lewat puisinya “Seteru Kata” (2022). Mula-mula ia lempar sejumlah kartu tertutup. Dan ia minta saya menebaknya: siapa yang berbaring sehitam malam (itu, adalah) roh batu menjemput pelapukan.

Ah, ini mudah! Pasti yang dimaksud adalah kata. Lebih tepat lagi kata dalam puisi.

Dalam ruang gelap bahasa di dalam kepala manusia, kata seperti arsip dalam ruang penyimpanan yang gelap. Sehitam malam karena memang tak perlu benar cahaya untuk menerangi.

Dalam gelap itu, kata-kata, seperti sebongkah batu – apa yang terbentuk dari sesuatu yang dulu likuid lalu membeku – tapi sekuat apapun ia sesungguhnya ia terus melapuk, fana, melepas partikelnya selapis demi selapis, sebutir demi sebutir.

Penyair Iin melempar lagi kartu yang lain: pasang debur / terdengar di kejauhan / seteru kata / menenggelamlan dirinya.

Dengan kartu yang terlebih dahulu telah terbuka, kartu-kartu ini semakin menarik. Siapakah yang menenggelamkan diri? Si kata atau seterunya? Saya menebak, dengan keyakinan tinggi bahwa saya akan memenangkan pertaruhan ini, yang dimaksud adalah si kata itu.

Seterunya siapa? Kebisingan dari dalam dan dalam kata itu sendiri. Jauh tapi tak pernah menghilang. Seperti debur ombak. Menghantam batu-batu. Menggerus batu-batu kata, mengerosi secara fisik, bahkan hendak menenggelamkannya.

Penyair adalah dia yang menyiapkan matanya, menajamkan kesadarannya, menyediakan diri sebagai penyaksi, menunggu sinar tajam, yang menerangi kata-kata gelap dalam kesadarannya, untuk dia pilih.

Hidup pada dasarnya tak pernah beres sepenuhnya. Peristiwa-peristiwa terus saja menumpukkan batu-batu kesadaran, menghampar dan meninggi.

Kita seringkali tak terlalu mengenali lagi peristiwa-peristiwa lampau itu. Terlalu lekas lapuk. Tak sekuat itu kita mengingat, memanggul batu-batu itu, maka sebagian berlepasan dan kembali berjatuhan.

Dan menulis puisi, adalah upaya memilih kata – kartu terakhir yang dilemparkan penyair – memilih dengan tak utuh (keratan dari batu-batu itu) apa yang kemudian menjadi takaran nilai (atau makna), “menjelma pengukur / bagaimana kata direkatkan“, ujarnya, “pada pertaruhan ini”.

Rekatan-rekatan kata – batu yang entah telah selapuk apa, dan terus melapuk dan tak utuh itulah puisi. Ia bermakna apabila dari padanya terungkap dan terbebaskan apa yang tersembunyi dari udara mati, percakapan yang mandek dalam komunikasi yang rutin.

Puisi adalah kata-kata yang oleh penyair diupayakan kembali untuk belajar terbang, keluar dari ruang gelap bahasa.

Sampai di situ, selembar kartu terakhir masih tertutup di antara kami. Permainan yang sangat saya nikmati ini belum selesai, tapi aku tak perlu menyelesaikannya. Karena itu aku merasa tak perlu membukanya.

Jakarta, 12 Desember 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *