Penyair: Amir Hamzah yang Membuka Kemungkinan Baru

Oleh Hasan Aspahani

PENYAIR Amir Hamzah hidupnya tidak panjang. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911. Kelak setelah menikah dengan Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat, Amir Hamzah mendapat gelar Tengku Pangeran Indra Putra. Pernikahan ini dilandasi pada suatu rancangan perjodohan. Ia sendiri pernah mencintai perempuan lain, seorang gadis Sunda. Kisah kasih tak sampai itu saya kira menjiwai sebagian dari sajak-sajaknya yang hanya kita ketahui kini berjumlah 65 sajak itu.

Dia meninggal pada usia 35 tahun, tepatnya 20 Maret 1946, setelah dibunuh oleh sekelompok pemuda dalam sebuah revolusi sosial. Selama hidup yang singkat itu ia menerbitkan dua kumpulan sajak, yaitu “Nyanyi Sunyi” (terbit tahun 1937) dan “Buah Rindu” (1941). Buku lainnya yaitu “Sastra Melayu dan Raja-rajanya” (1942, setahun setelah ia meninggal), dan terjemahan sajak penyair Jepang, India, Persia dan lain-lain, terbit pada tahun 1939, “Setanggi Timur”. Amir Hamzah bersama Takdir, Armijn Pane, Achdiat K Mihardja, mendirikan majalah Pujangga Baru (1933).

Saya kira, Amir Hamzah sejak awal sudah merasakan adanya semacam firasat bahwa dia tidak akan lama menghirup udara Indonesia merdeka. Tema-tema maut, ketuhanan, dan kesunyian menjadi tema favoritnya. Ia juga mulai mencoba menulis sajak dalam bentuk bebas. Pilihan tema ini saya kira istimewa, menentang arus, dan “berani”, mengingat betapa zaman kala itu tengah gelisah menegaskan identitas Indonesia. Simak sebuah sajaknya yang saya kira amat bertenaga. Seperti ada tekanan atau tarikan yang luar biasa yang ia tahankan dalam dirinya, tapi dia sadar bahwa dia akhirnya haus hanyut, dan menyerah mati. Mati dengan gagah, sebab ia telah tahu saat maut itu tiba.

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada
air menolak kelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
Air di atas menindih keras.
Bumi di bawah menolak ke atas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!

(Hanyut Aku)

Saya kira posisi sosialnya yang tinggi dalam masyarakatnya ketika itu menyusahkan dia, selain tentu membuka kesempatan yang tak akan datang pada orang yang tak setingkat dengan dia. Termasuk kesempatan mendapatkan pendidikan resmi. Ia tamat HIS di Tanjungpura (1924), lalu melanjutkan ke Christeljk MULO di Medan setahun, dan tahun kedua serta ketiga diselesaikan pada tahun 1927 di Christelijk MULO Menjangan Jakarta.
Lulusan MULO kala itu mungkin sama dengan orang yang bergelar sarjana saat ini. Bandingkan dengan Chairil Anwar – penyair yang lahir sebelas tahun lebih muda – yang tidak tamat MULO. Amir Hamzah selepas MULO melanjutkan ke AMS-A (Algemeene Middelbare School) Solo, Jurusan Sastra Timur. Kenapa ia tidak memilih hukum atau kedokteran yang pasti amat dibutuhkan oleh masyarat dan bangsa yang hendak menjadi saat itu? Saya kira Amir Hamzah menentukan pilihan menurut gerak hati.

Kitab kecilku ini,
sebagai selampai melambai,
di puncak mercu gunung tersepi,
di lembah puspa melati murni,
selaku menyeru bertalu-talu,
akan adikku-tuan datang memetik,
kuntum kencana sastra Lama.

(Semoga, sajak ini ditulis sebagai pengantar pada “Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya, 1942)

Amir Hamzah memilih menempuh jalan sastra agar dalam singkat hidupnya itu, bisa juga ia sampai pada puncak gunungnya sendiri, lalu di sana meninggalkan kuntum kencana, melati murni yang pantas untuk dipetik kelak oleh “adik-ku tuan”. Di puncak itu ia kibarkan bendera berupa “selampai melambai”, agar “adik-ku tuan” atau siapa saja yang datang kemudian bisa tertampak bendera itu dan tergoda untuk mendaki dan memetik kesana. Saya kira, Amir Hamzah telah berhasil memenuhi cita-citanya itu. Hasrat untuk menjadi abadi seperti itu kita tahu begitu masyhurnya juga diteriakkan oleh Chairil Anwar yang “mau hidup seribu tahun lagi”.

Karena menempuh pendidikan bahasa dan sastra, Amir Hamzah amat tahu bahwa Kesusasteraan Indonesia mengambil pengaruh dari tanah luar. Tanah yang hampir dengan kepulauan Indonesia, yang kaya dengan ilmu sastera.
“Dalam pergaulan antara dua bangsa itu berpinjam-pinjam kebudayaanlah mereka,” tulisnya dalam sebuah makalah panjang berjudul “Kesusasteraan”, lalu di makalah itu ia paparkanlah pengaruh dan sumbangan sastra India, Cina, Parsi dan Arab bagi sastra Indonesia, yang datang lewat perdagangan dan pemelukan agama.

Tapi, zaman itu menuntut lain pada manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Amir Hamzah toh tidak bisa menghindar dari gerak sosial politik. Ia harus menjalani kehidupan memimpin masyarakatnya. Setelah menikah ia diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpira, lantas menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Ia lantas kembali ke keraton dan menjadi Kepala Bagian Ekonomi Langkat di Binjai. Setelah proklamasi kemerdekaan Amir Hamzah menjadi wakil Pemerintah RI, kemudian pada tanggal 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi Bupati Langkat di Binjai. Tak ada jejak-jejak sajaknnya lagi pada tahun-tahun itu. Ia telah membuat jejak sejarah lain, yang juga memperoleh pengakuan. Pada tahun 1975 pemerintah mengangkat dan memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam pengantar buku kumpulan prosa dan esai yang diterbitkan Dian Rakjat – penerbit milik Takdir – Takdir menyebutkan bahwa Amir Hamzah tak tersangkalkan lagi mendapat tempat yang abadi dalam sastra Indonesia. Takdir – dalam pengantar di tahun 1982 itu – berharap agar bahasa dan gaya yang diperagakan Amir Hamzah “teristimewa yang terjelma dalam prosa liriknya, memberi ilham dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi angkatan muda kita yang sedang mencari-cari sekarang.”

Apa yang bisa kita cari dan bisa kita temukan dalam bahasa dan sosok Amir Hamzah? Pertama, ia bisa kita teladani sebab keteguhannya memilih sastra sebagai jalan hidup mengikut rasa hatinya. Kedua, dia bisa kita teladani dari keyakinannya menuliskan sajak-sajak dengan percobaan dan sintesa pada bentuk dan bahasa baru, yang mungkin belum bisa diterima atau tidak populer pada masa itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *