Puisi: Bulan Perak, Kapas, dan Cahaya – Hamdy Salad (l. 1963)

Hamdy Salad (l. 1963)

Bulan Perak, Kapas, dan Cahaya

Bulan perak, kapas, dan cahaya
mendaki kelam di pundak sunyi
mengucap salam ke dasar almanak
sepanjang malam masih diberkahi

Langit hitam berubah warna
menjahit gerhana di wajah paripurna
bagai jubah dan sayap para pencari
mendekap jalan sejuta mimpi

Bintang-bintang memasang pelita
mengibarkan panji di tiang cakrawala
peta-peta terbuka di taman sang nabi
mengantar jiwa yang tenang dalam diri

Angin berhembus dari laut yang jauh
menyapu pasir dan debu dalam teduh
serasa kabut kembali dingin menyiram tanah
menutup sembilu dengan daun tanpa getah

Burung-burung terpekur dalam sarangnya
memintal syahadat, meleburkan shalawat
bagi semua yang tertidur di atas nikmat
dan membujur bagai batang kayu berkepala

Suara-suara bergema di dinding rumah
membuka pasang mata dan daun telinga
dalam jelaga yang dipenuhi kristal mutiara
mengajarkan doa dengan sepenggal hikmah

Dan ketika fajar menyatu di cermin kamar
matahari dari timur kembali bersinar
menerangi gairah dengan seribu pelangi
hingga bayang-bayang tak lagi ragu untuk berlari

Tapi mata tak pernah membaca
pada segala yang belum terbuka
di dasar sungai dan kolam-kolam
yang menyimpan hidup dan rahasia ikan

Roda-roda berputar dan terus berputar
meniti jejak kembara paling sempurna
dari masa silam di rahim ibu
sampai usia terbenam ke lumpur waktu

Kuda-kuda, kerbau dan sapi
menarik pedati di jalan tak bertepi
memberi pelajaran bagi sang hamba
yang tersesat menuju ke puncak sahaya

Bekerjalah seperti lebah yang bekerja
mencari rezeki di atas tangkai berduri
walau kenangan telah dimakan senja
dan bunga-bunga meninggalkan wangi

Jari-jari menggenggam palu dan kapak
memecah batu, membelah kayu bertonggak
meski cuaca dan hujan mengirimkan airmata
dalam bencana yang tak pernah reda

Sekali-kali, janganlah menyeru pada keluh
agar lidah masih dipercaya oleh hati
bagai kepiting di dasar sungai yang keruh
membuka jalan menuju muara sampai mati

Tuhan merapat pada nadi yang bertobat
dan berdiam untuk mensucikan kotoran
hingga jiwa dan badan kembali semburat
seperti permata dalam serat batu pilihan

Semua fana, yang tuli dan yang buta
yang bisu dan yang lumpuh
tak mungkin berlabuh dari pantai kegelapan
kecuali api membakar karang di dasar lautan

Pintu-pintu yang terbuka karena benda
kan tertutup kembali sebagai benda
tak ada kunci yang terjatuh dalam cempuri
kecuali bentangan doa dan airmata sendiri

Dari tanah lempung yang nyala
awan putih bersinar di angkasa putih
menurunkan petitih sepasang kaki
bagi yang duduk dan berdiri sepanjang hari

Segala luka yang bersarang di dada
mengirimkan belerang ke dalam dara
berderak dan terus berderak
menggerus kisah-kisah dari dunia baka

Dan rindu telah bersenyawa dengan cinta
menjadi satu dalam detak jarum jam
lalu bersinar di dinding tua
sampai nyeri berkalung tasbih dari manikam

Kembalilah dengan tangan tengadah
bagai pohon mencari cahaya di tengah hutan
menembusi makrifat tanah
asal mula pengetahuan

Humuskan jasadmu dalam dedaunan
sampai zarrah menjadi jimat paling inti
dalam gulungan badai dan topan
di dasar benua tempat bersemi

Duhai cinta yang bermukim dalam diri
kembalikan ruhku menjadi bayi
seperti angin yang menjaga musim
menyusu rindu pada puting abadi

Sumber: Rubaiyyat Sebiji Sawi (Cetakan Pustaka Sufi, Yogyakarta 2004)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.