Laksmi Pamuntjak
Tiap perjalanan mungkin bermula
dari tangga
atau dari kaki yang terseret
sepanjang lorong
di rumah nenek yang tua, di mana
pintu terbuka, mungkin ke bayang
& bekas tinta. Ada pediangan dengan
sisa arang. Sering orang tak bisa tahu
mana ruh mana hantu, dan seperti kunci
yang jatuh ke pasir, kita tertegak
ke arah pusaran, tapi lupa seseorang
yang di sana. Nyanyi terjahit pada langit,
jauh sebelum kota-kota didirikan
dan tanda jalan dan jarak dipasang
Bisa saja angin khianat, ketika sinar
memilih celah,
mungkin kita puji Tuhan yang salah
dan hanya ingat apa yang membuat ladang bercahaya
bagian yang lekat pada peta. Kita tinjau bentangan
dari arah kerak bumi, seakan-akan planet ini
hanya tumpahan kosmis yang tak sengaja.
Gunung mengeriput di bawah matahari, dan laut
cuma air yang merembes ke dalam ruang.
Tapi akhir-akhir ini panas jadi perak,
ketika pulau tenggelam dan ikan terengah
dalam liang hari yang hitam, yang meranggas tak biasa.
Apapun kisah yang kita bayangkan di jalan ini
terkubur di dada si mati, atau selamat karena bulan
dengan wajah sesat seorang dewi. Begitu rupa kiranya,
hingga halaman yang melompat dari kitab
terasa menyentak lembut, mengisyaratkan sesuatu
yang akrab ke kulitmu: sidik jari ibu, tetes peluh bapak
yang lepas dari leher yang menjulur di garis yang sama,
membawanya pergi ke sebuah tempat,
ke sebuah penjuru, di mana burung-burung
terbeliak, menatapmu.
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Juni 2012