Puisi: Tentang Cahaya – Laksmi Pamuntjak

Laksmi Pamuntjak

Yang ia percakapkan hanya cahaya.
Ketika ia berikan kepadaku buku tentang seorang penulis
yang mengucilkan diri di rumah rahib Cappadocia,
rasanya ia berharap aku juga akan berpikir
tentang cahaya yang jatuh ke batu-batu tertentu,
di pagi-pagi tertentu.
Baiklah, kataku, tapi warna putih
adalah malam. Bukan matahari yang
mengantarkannya, melainkan caha bulan
pada karang. Ia mendengarkan.

Lalu ia sarankan agar aku lebih menyimak pagi
Anatolia. Sebab di sana ada getar kecil
pada cahaya terang, pohon-pohon birka
bebercak kapur dan coklat muda
yang memagar tebing, burung air yang
meloncat-loncat.
Ketika si penulis di biara itu mati
belum sebulan semenjak ia berikan buku itu kepadaku,
diam-diam ia runtuh.
Lalu ia tulis semacam obituari
yang akan membuat yang mati,
bahkan Narcissus, tersipu-sipu.
Sementara ia menangis dalam kepedihan Virgilius,
aku datang kembali ke jajar sinar
yang jatuh ke dadaku siang itu.
Tiap kali pandangnya menatap sepasang lonceng
di kedua ujungnya, puncak yang lunak
dan menyerah itu,
aku tak tahu adakah ia tengah menikmati
warna jingga gardu-gardu yang menegaskan
pertigaan itu,
atau menjilatkan matanya
ke warna susu, warna bundaran pada menara
dongeng Rapunzel.
Aku tak tahu adakah
cahaya tubuhku yang ia tatap
atau cahaya sekitarku
yang tak ada hubungannya
dengan diriku.

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Juni 2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *