Puisi: Dunia Lain dari Kesaksian Fragmental

Oleh Hasan Aspahani

KESAKSIAN kita atas realitas selalu fragmental. Kita tak pernah bisa menyaksikan seluruh peristiwa. Ketaklengkapan itu terjadi karena kita memang tak punya kapasitas untuk itu dan kita juga tak memerlukan seluruh detail untuk memahami peristiwa itu.

Tentu saja mengejar kelengkapan atas detail itu adalah baik. Pemahaman kita atas suatu peristiwa itu pun menyesuaikan dengan kebutuhan kita, yang bisa berbeda dan berubah. Ketika ada perubahan kebutuhan pemahaman itu kita bisa mengganti atau memburu detail lain atas peristiwa itu.

Kadang-kadang, terdorong oleh hasrat akan keabadian atau memperlama kehadiran sesuatu dalam ingatan, manusia suka juga memindahkan X realitas ke dalam berbagai hal: gambar di dinding gua, gerak tari tubuh, sepenggal dongeng. Atau kita juga gemar menangkap realitas itu dalam selembar foto dengan kamera, menggambarnya pada secarik kertas, atau melukisnya pada kanvas.

Apakah yang kemudian hadir dalam foto, gambar, dan lukisan itu adalah realitas X? Bukan! Apa yang tampak pada foto, kertas, dan kanvas itu sah sebagai sebuah realitas baru, X yang lain.

Kita bisa membaca X baru itu dengan mengaitkannya dengan X dari mana dia dipindahkan. Tapi itu bukan satu-satunya cara membaca, karena X realitas yang lama itu pun jangan-jangan sudah tak ada. Kalaupun ada ia mungkin sudah menjadi pengulangan dari X yang juga tak lagi sama persis dengan X semula.

Seringkali X itu pun memang realitas selintas yang lekas berlalu. Itu alasan atay naluri lain kenapa kita gemar dan punya hasrat dan merasa bisa mengabadikannya. Padahal yang kita abadikan itu nyatanya hanya ilusi tentang X itu.

Ketika kita melihat atau bersaksi atas X realitas tadi itu, kita pun bisa memindahkannya ke dalam dunia lain, realitas lain, lewat kata-kata. Puisi misalnya. Atau bentuk teks lain.

Dengan kata-kata kita bisa menuliskan apa yang tampak itu dengan usaha membuat gambaran seakurat mungkin, tapi kita tak pernah bisa benar-benar memindahkan realitas itu persis sama. Atau kita suka juga – kadang dengan tak sengaja – memasukkan pendapat, perasaan, pikiran kita tentang X itu. Dengan kata lain kita menyusun ulang X itu, merekonstruksinya.

Kita juga bisa membangun realitas yang sepenuhnya baru atas realitas X itu, dengan imajinasi kita. Kita mengganti X itu dengan Y, dengan Z, dengan segala kemungkinan yang bisa kita imajinasikan.

Begitulah peristiwa berlalu, dan kesaksian fragmental dan ilusi atas realitas itulah yang tertinggal. Tapi apa gunanya? Selain memuaskan hasrat akan keabadian, sebagai sudah disebutkan sebelumnya, yang tertinggal itu adalah pelajaran, hikmah, atau makna. Kita memang Homo signans, makhluk yang memberi makna pada apapun yang bisa dimaknai.

Bagi saya dalam kesadaran seperti itulah puisi hadir. Puisi adalah kesaksian fragmental atau lebih tepat salinan yang tak pernah lengkap tapi dia adalah sebuah dunia, realitas imajinatif yang mandiri, membangun medan pemaknaan sendiri.

“…puisi adalah suatu dunia tersendiri, yang kadang dalam bentuk ekstrem atau ideal adalah suatu dunia hasil imajinasi yang tak berhubungan dengan realitas,” ujar Sutardji Calzoum Bachri dalam esainya “Puisi Besar”, Bentara, Kompas, Jumat, 1 Juni 2001.

Chairil Anwar jauh tahun sudah menegaskan hal itu juga. “Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda dan materi….,” ujar Chairil dalam pidato radio 1946.

Puisi sebagai dunia imajinasi itu berguna bila ia dibaca, dimaknai kembali, dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan terhadap realitas. Ia jadi pengingat, pembangkit kesadaran dengan sentuhan lembut kata-kata, atau menjadi pemberi peringatan dengan teriakan keras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.