Puisi: Hikayat Jamarun – Mugya Syahreza Santosa (l. 1987)

Mugya Syahreza Santosa (l. 1987)

Hikayat Jamarun

(seribu burung akan mengepung langit yang tiba-tiba mendung
dan paruh mereka sibuk menyasar biji matamu)

angin tak pernah berubah menjadi sari padi
hingga terasa sengat ruap pandan wangi.
dan musim belum menampakkan panen cengkih
apalagi memanen kopi untuk ditumbuk dan dibagi.

jadi apalah arti serbuan aroma dari tubuh bangkainya
yang tak pernah terasa seharum ini,
selain dari tubuh para nabi dan mereka yang terkasih.

tetapi janji dengan telak ia tepati,
tak bisa mengelak apalagi meyakini
mereka yang bermata fana terbelalak
dan mereka yang bermulut dusta
sekedar bisa menganga.

coba kau cium lagi
dengan hidung belakamu,
dan sesaplah sepuasnya.

sungai bisu yang melarikan tubuh
prasangka yang menenggelamkannya.
oh gema rimba yang memantulkan
rasa laparnya,
enggan juga jarak memendek dalam jauh.

seharusnya mulut ikan yang tersesat di mata kail itu
bukan tuduh yang terhunus begitu ampuh,
sedang tak ia kenali bayang wajahnya sendiri.

“aku sebatas mencari alas untuk perih
lambungku, demi memerah waktu
sekadar memanjangkan usiaku.”

tapi tak ada yang percaya pada rasa lapar
sebab tubuh lunglai dalam pangkuannya
tak bisa membenarkan kesaksiannya.

setiap pandang yang menyapu wajahnya
terasa membasahi dengan dengki.
setiap kali jantungnya berdegup
para punggawa siap menyusupinya duri.

“bawa ia ke hadapan kanjeng dalem
biar neraka mudah diterima baginya!”

ia merasa langit sepenuhnya pongah
tegak dan tak bisa lagi ia menganggit doa
sepatah kata sekalipun.

pasir dan darah bercampur di mulutnya
hampir saja gigi dan lidah tak dirasai lagi.

gemetar tubuh berangsur menyergap
begitu saja,
saat punggawa dengan mudahnya
menggusur tubuhnya ke jalanan bersemak
tak bergalur.

tanah terasa mengambang dalam tatapannya
pohon-pohon goyah.
bumi kembali bukan pijakan ramah baginya.

depan singgasana yang bunga mawarnya
dari emas dan tembaga,
ia begitu percaya kanjeng dalem
akan mengenangkan padanya
bagaimana memperlakukan petani
seperti para pelayan
seorang dewi kelembutan.

tapi lelaki yang angkuh, sorotan mata merah
dan mulut menahan tetesan bisa
tak pernah menganggapnya berharga.

“ini kotaku tak bisa kau berbuat dosa
tanpa penghakimanku.”

kanjeng dalem dengan tubuh bersih
nan rupawan telah begitu menyilaukan matanya.
tak ada sebab mengapa tiba-tiba matanya begitu sembab
bukan kerena pukulan punggawa
melainkan kata yang bersarang jauh dari rasa iba.

ia terasa jalang jelata, mengapa kasih terasa melorot
dari genggam begitu mudahnya.

tak ada tanda-tanda bahwa
hari esok masih ia punya.

seluruh gempita tinggal gagap
terkulum di mulut seketika.

“bawa ia ke tiang gantungan!”

dosa apa yang mudah diterka
doa apa yang mudah musnahnya.

ia membayangkan alun-alun
yang dahulu mengajarinya menangkap capung.
menggambar punggung kupu-kupu
dengan lamunan tentang istri dan anak-anaknya.

oh pagar hidup dari salur sirih
serasa baru saja ia tumbus.
ia melihat anaknya berdiri
membawa kolocer di tangan.
ia melihat istrinya bersimpul senyum
merekatkan kasih merah delima di dada.

tapi mengapa semua bayang berubah hitam.
Orang-orang mengepungnya, melempar
kesumat yang tak pernah ia sulut sepercik pun.

angin enggan menyejukkan pucuk mimpinya.
dahan harap terasa gemertak terinjak-injak.

“bila aku tak pernah membunuh anak malang itu
kalian akan merasakan malam begitu cepat
dilepaskan.”

dan orang-orang masih terkesima
pada luruhan peluh dari tubuhnya.
saat tali dikalungkan ke lehernya
dan ia berdiri di atas sana sendiri
tanpa pengakuan dosa
yang pernah dimulainya.

“kalian akan merasa paling busuk
setelah rupa burukku menghalangi
matahati yang terlanjur dibenamkan nafsu.”

juga tak membuat orang-orang
menyisihkan lengan keangkuhannya.
hanya dada yang membusung
seperti busur memanahkan dendam
dan entah menyasar apa sebenarnya.

pada hentakan pertama pada lehernya,
ia menelan udara dari celah sempit dunia.
pada tarikan yang makin mencekiknya
ia menghisap aroma surga
tanpa kata-kata yang diumbarnya.

seribu burung menghalangi langitmu
dan udara yang membumbung dipenuhi aroma
pandan wangi, sesekali berganti terasa bubuk kopi.
selebihnya aroma berjatuhan.

warna malam tiba-tiba menyergap
dalam kepak gagak yang mengerubungi
mata dan lidah fitnah.
di tanah, di mana ia tergantung sepi
cahaya seakan miliknya seorang diri.

(2014)

Sumber: Kompas, 8 Februari 2015.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *