Yuditeha (l. 1969)
Kita Satu
: layla
Satu titik.
Satu pertalian, yakin satu.
Disuarakan dengan nada termanis dan dapat kudengar melewati batas pulau-pulau.
Aku melihat dalam pikiran, kerudung hijaunya menawarkan keleluasaan.
Di pagi hari, sebelum menguji diri, matahari telah memberinya kesempatan.
Di malam hari ia siap menjadi jembatan penyeberangan karena sebentar lagi radio akan menyiarkan lagu-lagu kerabat illahi.
Di luar sana ada banyak kepura-kepuraan, mengumbar puji sembari menamcapkan belati.
Perang kapan saja bisa terjadi, memenggal napas atas nama kesucian.
Ia hadir sebagai contoh bahwa keyakinan yang dirindukanNya adalah pertalian.
Satu itu saja sebagai bentuk penguasaan diri bahwa manusia saling berkaitan.
Kupotret dirinya dari langit-langit saat raganya berteman hijab coklat.
Warna kesukaan.
Warna kedewasaan.
Warna kelenturan.
Selentur penalarannya yang telah sudi menerimaku sejak di serambi hati.
Topi kuturunkan.
Kepala kutundukkan.
“Ini bukan kemenanganku. Ini kemenangan kita. Kita satu,” katamu.
Sumber: Litera.co.id, 14 Oktober 2018.