N.A. Marimde
Mata Jalan
Ayahku sudah mencapai peta yang jauh dan luas.
Peta yang setiap tiba umurku di depan pintu, ayah akan
terbatuk. Barangkali terkejut karena mata yang dulu
menerangi langkahnya, menyusup redup. Mata yang hapal
jalan lurus dan liku di wajah Ibuku. Mata yang menelusuri
lembah dan hutan seperti seekor kijang sediakala.
Ibuku adalah sebentang daratan kecil yang dihuni
seorang gembala bagi domba-domba di hatinya. Domba yang
rapuh terhadap pengorbanan dan tersesat akan kesepian.
Sebab mata terbit dari perasaan sekaligus temaram. Mata
yang berjejak bahagia pada gunung dan bergugus sedih
dalam gemawan, yang kelak tumpah sebagai musim.
Dan aku menemukan jalan berlalu dan kini. Jalan yang
mendatangi aku seperti mata sepi duduk-duduk di depan rumah
sambil memegang sebuah peta dan sepatu yang berbercak
lumpur. Sekedar rihatkah atau hendak masuk
abadi dalam diriku?
2014
Sumber: Pikiran Rakyat, 28 Desember 2014