Puisi: Memaknai Payung – Tengsoe Tjahjono (l. 1958)

Tengsoe Tjahjono (l. 1958)
Memaknai Payung

*demsi danial

bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan jatuh, namun
cara berteduh. begitu kata senja kepada murung
ketika langit dekat kepada mendung. jelas itu bukan
perselingkuhan, sebab kedekatan itu telah dirancang
waktu. seperti batu dan luka betapa dekatnya. seperti hidup
dan maut begitu akrabnya.

kau pun pasti bertanya tentang cara berteduh. sambil
memindahkan payung jauh-jauh. tampias dan kepala basah.
gigil tubuh dan getar bibir. air mengalir mencari liang,
menitipkan pesan: nikmatilah. ia pun merasakan pipa-pipa
mengalirkan dingin, merambat ke sumsum dan tulang. ia
mencoba memisahkan matahari dari siang, dari malam

dengan terguyur dia pun terlindung dari rasa dingin yang
mual. gerak air selancar nafas mengalir. daki dan debu
menemukan muara dimana angin menebarkannya jadi
rabuk bagi hutan yang tak henti bertunas di kedua bahu
dan punggung. begitulah ia, semakin tahu cara berteduh,
semakin ngerti hakikat langit dan mendung

bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan runtuh, tapi
penampang tubuh yang sabar yang senantiasa menjadi
rawa-rawa bagi kepiting, bakau, ular, dan akar tunjang.
bukankah luka itu niscaya sebagaimana bumi itu
penjara namun tak henti disetubuhi hingga lahir hutan di
kedua bahu dan punggung. lalu segala buah menemukan
kelelawar, tupai, dan burung-burung, sebelum berguguran
membangun pohon-pohon baru.

di bawah hujan jatuh
begitulah ia berteduh

seoul, 20 oktober 2014

Sumber: Meditasi Kimchi, Kitab Puisi tentang Korea (Pelangi Sastra Malang, Kafe Pustaka Malang dan Universitas Negeri Malang; 2016)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *