Puisi: Musim Hujan, Tahun Baru – Wendoko (l. 1968)

Wendoko (l. 1968)
Musim Hujan, Tahun Baru

/1/

Pernahkah kaudengar cerita:
Sebelum tahun baru, Nian – raksasa bertanduk
dan bermata lebar – kerap mendatangi desa-desa.
Nian akan melalap panen ladang, ternak, atau manusia.
Karena itu penduduk menaruh sisa panen di depan rumah
–          lalu menutup pintu dan jendela-jendela.
Sampai suatu malam, ketika Nian menjerit-jerit
karena bocah yang berpakaian merah.

Atau, pernahkah kaudengar cerita:
Li Zhi-chang, si pemberontak itu
menyeru penduduk menggantung lentera merah
–          agar terlepas dari malapetaka.

Sebelum tahun baru, Ibu menempeli dinding rumah
–          juga pintu dan bingkai jendela – dengan kertas warna merah.
Lalu guntingan kertas berkarakter keberuntungan,
kekayaan, kebahagiaan, dan umur panjang.

Di depan pintu menggantung dua lentera merah.

Ibu juga menggosok seisi rumah
–          menyapu dengan nasib buruk dan membuka Jalan Keberuntungan,
sebelum menyimpan sapu di bilik belakang.

Di ruangan depan bertumpuk makanan dalam bungkus besar.
Tapi bersabarlah sampai tiga hari ke depan.
Kita sudah menyantap la–ba–zhou, bubur dengan bijian kacang
–          sekedar menghormat dua belas dewa.

/2/

Sebelum tahun baru, Dewa Tungku pulang ke Istana Dewa
–          setelah satu tahun lamanya mengamati gerak-gerik kita.
suguhkan makanan yang manis dan gula-gula,
agar Dewa Tungku tak melapor yang buruk tentang kita.

Ibu sudah menanak nian–gao
–          kue manis dari tepung ketan, gandum, sedikit garam, lalu gula.
Bentuknya bulat, semoga keluarga rukun bersatu-bulat.

Ayah sudah membersihkan meja altar
–          mencopot dekorasi lama, lalu menaruh nian–gao dan gula-gula.

Di depan rumah ia membakar patung kertas.

“Ini Zao-jun, si Dewa Tungku,” katanya.
“Kita mengantar Dewa Tungku ke Istana Dewa,
untuk bertemu dengannya tahun mendatang.”

Tapi lembab sekali di luar rumah.

/3/

Ada hidangan-hidangan di meja:

Lou–han zhai, aneka sayuran dalam nampan.
Irisan wortel, kubis, rebung, kulit-tahu, jamur dan kacang
–          artinya kemakmuran.

Tumis ikan dalam piring besar.

Tapi kata ibu, tak boleh disantap sampai tuntas –
Harus ada sisa untuk disampan, artinya kelimpahan.

Daging gulung dan sosis, dengan potongan daun bawang.
Daun bawang artinya menghitung uang.
Irisan sosis, bukankah mirip uang logam?

Mie dengan telur-telur bulat
–          tapi jangan digigit waktu bersantap.
Sedot keras-keras, semoga umurmu panjang.

Di ujung meja, jeruk berkulit keemasan
–          artinya keberuntungan.
Lalu apel-apel merah, semoga ada setahun yang lancar.

Paman Lou sudah datang.
Ia sedang bercakap-cakap di ruang depan.
Paman San dan Bibi di perkarangan rumah.
Tetapi mana bibi Fang?
Mungkin sedang membantu Ibu di belakang.

Sebelum santap malam, ucapkan doa-doa.
Tahun lalu Kakek sudah tak ada.
Ingatlah para leluhur – dan kita bersyukur
untuk satu tahun yang telah lewat.

/4/

Ada rangkaian bunga di meja:

Bunga prem, kumkuat dan terong.
Bunga persik, lili, lalu ranting-ranting bambu.

Prem dan kumkuat artinya kekayaan.
Terong, semoga kau dilimpahi kesehatan.
Bunga persik artinya berkat, lili itu ketenangan.

Ibu membeli dari bazar di dekat rumah.

Di ujung jalan ada suara tambar, simbal dan tarian naga.

/5/

Shen-tu dan Yu-lei, dia penjaga Gerbang Tanah
suatu saat turun Gunung Persik di utara.
Mereka menghabisi setan-setan –
yang saban hari melalap bunga persik di sana.
Tak hanya bunga, tapi juga menggerogoti batang.

Karena itu selama tiga puluh hari pertama,
kita menaruh patung Shen-tu dan Yu-lei di pekarangan.
Tak hanya menolak bala, tapi juga menjerat keberuntungan.

Tapi gantungkan juga gambar Dewa Kekayaan.
dan tuliskan bait-bait sejak beruntai –
seperti dulu yang dicontohkan Kaisar Meng Huang.

Sebentar lagi rombongan orang itu akan lewat.
Mereka berteriak “Dewa Kekayaan telah datang!”
Sudahkah kauletakkan meja di dekat pagar
–          lengkap dengan kue dan gula-gula?
Jangan lupa sisipkan uang ke amplop merah,
agar tahun ini beban kita berkurang.

Sekarang kai–nian. Kakak Ing pasti datang.
Ia akan datang dengan si mungil yang tampan.

/6/

Pernahkah kaudengan cerita:
Qu Ming, saudagar muda itu
sekali waktu terdampar ke pulau berbatu-batu.
ia dijamu oleh empunya pulau, dan sebelum pulang
Qu Ming meminta Ru Yuan – si pelayan yang jelita.
Mereka serumah dalam satu musim panas,
lalu perlakuan Qu Ming berubah kasar.
Suatu hari Ru Yuan menjelma asap – lenyap
ke dalam sapu, dan menyapu habis seisi rumah.

Tetapi sekarang saatnya membersihkan rumah,
setelah empat hari lamanya
kita menyimpan sapu di bilik belakang
–          agar tak menyapu harta keberuntungan kita.

Adik, jangan lupa singkirkan sesaji dan dupa.
Lalu pandanglah langit dan gugusan awan.
Kita membaca langit dan pertanda
–          barangkali langit akan bersih sampai tahun mendatang.

Gantungkan juga kain merah di pintu depan.
Bukan, bukan untuk menakuti Nian – karena
sekarang hari kelima. Kita gantungkan kain merah
sekadar menjaga kedamaian.

/7/

Ranting-ranting mulai menunas.
Angin mengusik, tapi langit tak berawan.

Semalam, setelah lewat tengah malam
kita menghanyutkan sampan kertas dengan lentera
ke sungai. Biarkan ia berlayar
–          terantuk-antuk, dan terbawa arus ke lautan.

Tapi pagi ini jangan ke luar rumah.
Dewa Amarah sedang berkeliaran.
Tidurlah lebih cepat, dan jangan lupa
tebarkan beras atau biji-biji ke lantai.

Biarkan tikus-tikus berpesta, sepanjang malam.

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Januari 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.