Puisi: Pecahan Ratna – Aoh K. Hadimadja (1911-1973)

Aoh K. Hadimadja (1911-1973)
Pecahan Ratna

1

        Pabila engkau sungai dan aku mentari, akan kupancarkan sinarku sekuat tenaga, agar engkau tertawa riang menyanyi suka. Tak ada lagilah hutan dan jurang sunyi sepi, dilalui semua oleh gelakmu.
Dara dan bujang akan menari-nari ke luar rumah mengenakan kain seindah ada, menuai padi yang penuh bersalut emas, berkat hatimu yang murah kaya.
Tentang dan tenteram engkau tinggalkan daratan hayat, karena tanah yang tandus kering telah engkau subur hidupkan dan menujulah engkau ke Samudera Raya bergulung buih hikmat.

2

        Insyafkah, wahai adik, akan kilat cahaya kesayangan Tuhan akan dirimu?
Awan pecah, aku tegak, biduk kukayuh pula.
Dan bila pun aku hancur remuk terdampar karang, berbahagialah aku, tulangku terserak di dasar laut bersama mutia yang mengenangkan dikau!

3

        Bagaikan langit melengkung kelam, penuh bintang bertabur mewah, wahai adinda, demikian halus jaring rambutmu.
Hitam ikal rambutmu tertutup, bertebar bunga sutera biru, aduh juita, patah kalam tak sampai kata.
Hanya kenangan meliput senja, mentari turun, engkau pergi…

4

        Serasa-rasa lama lagi akan menutup mata selama-lama…
Rela aku! Dalam mataku terbayang kita, engkau dan aku, mengendarai kereta kencana ditarik kuda menari suka.
Bersorak sorai orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.
Aku rela, aku pergi lebih dahulu…

5

        Herankah engkau, adik, sudah kutahu pohonku takkan berbuah masih juga aku menari-nari menyanyi riang?
Ah, mengapa tidak!
Pohon, burung, sungai, semua menyanyi. Mengapa aku tak kan turut pula?
Nikmat berdesir pohon dalam kemarau panas terik.
Riang menyanyi burung di dahan patah.
Bersih menderu air terjun di jurang dalam.
Mengapa aku takkan menyanyi sekalipun di musim kemarau setahun lama, di atas dahan yang retak kering, di tepi jurang gelap gulita?

6

        Akan kucari papan yang tebal, ya Tuhanku, untuk kujadikan perahu bersama dia berlayar di telaga Al-Kautsar. Payah sungguh papan kucari, berat pula memikulnya… tetapi perahu mesti menjadi, biar aku berkeringat darah.
Bersama dia akan kuberlayar, di atas biduk nan kubentuk di telaga suci ciptaan Janji-Mu lama.

7

        Bagaikan pecah hatiku aku meniarap di telapak kaki-Mu dahiku menekan girang bergelut suka.
Akan kubasuh kakiku sebersih dapat memasuki majelis tempat kesayangan-Mu berkumpul ramai.
Destar pilihan akan kupakai, harum wangi-wangian akan semerbak bau dari pakaianku.
Mari, adinda, engkau kenakan juga hiasanmu indah menghadap kekasih, tempat gantungan kita kita di atas tanah yang terban senantiasa……

8

        Kutahu pohonku takkan berbuh.
Tapi berdosakah aku, kalau aku bawakan air selalu menyiramnya, hingga pohonku berdaun rimbun, tempat aku mencari lindung hari.
Berdosakah aku bersandar ke batang yang kuat berakar melihat tamasya yang molek berdandan menyambut fajar kata Ilahi?
Berdosakah aku kalau burungku kecil hingga di dahan rampak menyanyi sunyi melega hati?
Berdosakah aku kalau embun jatuh bertaburan di pohonku rindu mengikat pandang musafir lalu?
Berdosakah aku kalau di malam sepi bulan menari berlincak-lincak di atas pohonku sendu?
Dosakah, dosakah wahai teman, kalau beringin tumbuh di taman indah pohonkku sendu?
Hanya ucapan pujangga juga nan kuulangi, berbahagialah dosa demikian.

Jakarta, 1944

Sumber: Panca Raya, Th. I No. 16, 1 Juli 1946

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *