Remy Sylado
Di semboyan globalisasi kau mengaku shock
Orang menjadi highbrow cuma karena T-shirt
Begitu ceritamu tentang perjalanan kemarin
Pada flight terakhir Jakarta-Schiphol
Kau duduk di sebelah orang Indonesia tulen
Ber-hoofddoek sambil menguping walkman Sony
HP di tangan kanan Coca Cola di tangan kiri
Harum menyengat dengan empat nama parfum
Nina Ricci di telinga Tocadilly di leher
Yves Saint Laurent di ketek Gucci di udel
Dan dia adalah tikus yang jatuh di tepung
Kulitnya legam janggi bedaknya putih kapur
Lo, apa kokofoni ini juga diramal Kartini
Menyongsong terang setelah gelap berlalu?
Musim tentang cermin keparat telah selesai
Dipecahkan sebab protes melihat wajah buruk
Orang sekarang adalah badak pada besok hari
Ramai menukar wajah lugu menjadi rai gedheg
Lantas mengganti warna jas dan safari-look
Tanpa diminta menembang “It’s now or never”
Mengambil alih top hit para oportunis
Berdiri di atas kaki orang lain lebih aman
Mungkin rasa malu sudah tidak punya magi
Sementara harga kemaluan ABG makin jatuh
Taufiq telah lebih dulu menyatakan malu
Lantas apakah partai-partai juga punya malu?
Uthak-athik mathuk mengikuti tradisi mbah
Telah meninggalkan aksioma dalam cendra sengkala
Orang yang mengantuk menemukan ular belang
Barangkali terjawab setelah kungkum tujuh hari
Mutih sepuluh hari merapal weda mantra
Toh misteri pada rasa percaya diri kian kabur
Adalah fulus telah menuntun ke perzinahan roh jiwa
Duh, siapa dapat menolong menjadi juru selamat?
Kau bilang yang salah Wilhelmus van Nassaouwen
Dulu membawa salib dalam simbol westernisasi
Aku bilang dari dulu gen kita adalah ulat
Sewaktu-waktu jadi wereng dan kutu loncat
Kita hanyut sebagai sampah Spread Eagleism
Anak laki pakai jeans belel menghayat punk
Rambut dipirangkan memilih agama rock
Jadi goblog belegug dalam shabu, ectasy
Tapi saban 17 Agustus paling Indonesia Raya
Apa yang salah dari kepala kita, Pertiwi?
Apa ada remedy yang mujarab, Pertiwi?
Ayo dong, mbok somebody say something!
Dalam komunikasi karena perbendaharaan kata
Aku ingat penghayal Volapuk, Esperanto, Ro, Ido
Merenung, jigana urang kudu balik deui ke awal
Memulai dari diri kita melalui diri kita
Kalau butut jangan pecahkan lagi cermin
Pecahkan saja kepala lihat isinya satu-satu
Siapa tahu ada di situ noktah loakan Sam Kok
Sudah berkarat tapi masih terus dipelihara
Kuingatkan kepadamu tahayul peninggalan oma
Soal gerhana bulan terjadi di sanat Zulkaedah
Jika terjadi rusuh, tong deng tong baku potong
Siapa berani berdiri tegak bagai D’Artagnan
Pasti belum sempat mendengar tragedi Erberveld
Aku memilih diam sebab konon silence is golden
Terlalu sering kita mencari kambing hitam
Tak tahu yang dicari ngumpet di diri sendiri
Tidak deh, kataku, ini bukan waktu marah
Rendra sudah marah lebih dari 30 tahun
Pengamen di bis-bis kota marah saban hari
Kalau kekuasaan adalah jenis pusaka karun
Kalau semua orang tiba-tiba menjadi Caligula
Dan di tengah orang terpercaya ada Brutusnya
Carikan perisai yang dilapisi kasih sayang
Sebab benci dan marah cepat bikin tua
Celaka orang beruban yang masih berteriak
Hallo, aku ingin betul melafazkan confession ayah
Menyesal, yang menyambut cuma answering machine
Nanti kalau kau kembali lagi dari Nederland
Aku akan menyuruhmu melihat tanah ladang
Di tengah padi yang ditanam dengan kesungguhan
Ada juga di sana ilalang yang tumbuh sendiri
Begitu bukan penjahat saja yang berpikir jahat
Tapi juga di akal-okol jaksa hakim yang curam
Di pengadilan tempat orang mementaskan keadilan
Atau di rumah sakit, tempat perizinan, bandar udara
Di semuanya yang mengatasnamakan kemanusiaan
Jiwamu meradang, ya, dan aku sesak nafas mendengar
Mauku biar kau habiskan dulu kembaramu di sana
Aku kenyang di sini oleh slogan-slogan tempe
Lantas istirahat sebentar, tidurlah dulu
Senandung ninabobo tetap menegangkan
Bila nanti terbangun dari mimpi singkat
Bicaralah lebih baik kepada limbah busuk
Ia masih bermanfaat buat tanah perkebunan
1985
Sumber: Puisi Mbeling (KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta; Cet. I, 2004)