Puisi: Sama Rasa dan Sama Rata – Mas Marco Kartodikromo (1890–1935)

Mas Marco Kartodikromo (1890–1935)
Sama Rasa dan Sama Rata

Syair inilah dari penjara,
Waktu kami baru dihukumnya,
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama,

Ini bukan syair Indie Weerbaar,
Syair mana yang bisa mengantar,
Dalam bui yang tidak sebentar,
Membikin hatinya orang gentar,

Kami bersyair bukan kroncongan,
Seperti si orang pelancongan,
Mondar mandir kebingungan,
Yaitu pemuda semarangan,

Dulu kita suka kroncongan,
Tetapi sekarang suka terbangan,
Dalam S.I. Semarang yang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.

Ini syair nama: “Sama Rasa”
“Dan Sama Rata” itulah nyata,
Tapi bukan syair bangsanya,
Yang menghela kami di penjara.

Di dalam penjar tidak enak,
Tercere dengan istri dan anak,
Kumpul maling dan perampok banyak,
Seperti bangsanya si pengampak,

Tapi dia juga bangsa orang,
Seperti manusia yang memegang,
Kuasa dan harta benda orang,
Dengan berlaku yang tidak terang.

Ada perampok alus dan kasar,
juga perampok kecil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpelajar,
Dengan berlaku yang tidak wajar.

Dia itulah sama perampoknya,
Minta orang dengan laku paksa,
Tidak mengingat kebangsaannya,
Bangsa manusia di dunia.

Hal ini baik kami kuncikan,
Lain hal yang kami bicarakan,
Perkara yang mesti difahamkan,
Dan akhirnya kita melakukan.

Banyak orang yang mengetahui,
Dua kali kami kena duri,
Artikel wetboek yang menakuti,
Juga panasnya seperti api.

Kaki kami sudah sama lukak,
Kena duri yang kuincak-incak,
Juga palang-palang yang kudupak,
Sudah ada sedikit terbukak.

Haraplah saudaraku ditendang,
Semua barang yang malang-malang,
Supaya kita berjalan senang,
Ke tempat kita yang amat terang.

Buat sebentar kami berhenti,
Di jalan perempat tempat kami,
Merasakan kecapaian diri,
Sambil melihati jalan ini.

Jangan takut kami putus asa,
Merasakan kotoran dunia,
Seperti anak yang belum usai,
Dan belum bangun dari tidurnya.

Kami sampe di jalan perempat,
Kami berjalan terlalu cepat,
Temen kita yang berjalan lambat,
Ketinggal misi jauh amat.

Kami berniat berjalan terus,
Tetapi kami berasa aus,
Adapun pengharapan tak putus,
Kalau perlu boleh sampe mampus.

Jalan yang kutuju amat panas,
Banyak duri pun angingnya keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang juga kami papas.

Supaya jalannya SAMA RATA,
Yang berjalan pun SAMA me-RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Yaitu: “Sama Rata, Sama Rasa”.

Sumber: Sinar Djawa, 10 April 1918, dalam “Jaman Bergerak di Hindia Belanda” (Yayasan Pancur Siwah bekerjasama dengan Yayasan Penebar, Jakarta, 2003). Catatan lain menyebutkan puisi ini terbit di Pantjaran Warta, 1917.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.