Puisi: Surat Buat Lisa, Istriku – Leon Agusta

Leon Agusta

I.

Lisa. Bukan semata nasib yang memisah
Tapi adalah keliaranku juga
Yang selalu gelisah di seantero gelapnya jawaban
Sedang kau begitu jinak
Kelelahan dan kehinaan hidupku
Kau rangkul tanpa memberi tara
Hingga aku terpaut pada belenggu
keselarasanmu dalam derita

Kini, dalam tak bisa saling menyatukan sunyi
Kitapun jadi tergoda – mungkin
Untuk cemas atau untuk mengutuki
Inilah bahasa rindu percintaan kita
Bahasa sepi yang nakal
Yang bicara gendangnya menikam-nikam

Kemboja di halaman rumah kita dulu
Ditanam bukan buat perpisahan dan menunggu
Kini jadinya begini:
Semuanya tak sanggup melengkapkan kita
Kemboja di halaman; kebun cengkeh di belakang
Daun-daunnya gugur. Daun-daunya gugur

 

II.

(Api menjilat-jilat dalam mimpiku
hingga aku terbangun. Karena sesuatu
bantal di kepalaku terbakar)

Kabut jatuh dalam jiwaku yang kosong
Hujan tengah malam mulai reda, ketika padaku
mimpi itu mulai menggoda
menampar jantungku jadi gempar
Kilatan warna hitamputih saling melebur, hingga
akhirnya mengendap ke dalam arus menunggu pagi

Selengkapnya adalah nyanyian klasik semata
Yang bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padanya.
Jejaknya membekam senantiasa
Penuh aneka permainan; aku dirajutnya
Antara purnama yang kukejar
dan bayang-bayang yang mengejarku

 

III.
Memang tak perlu saling membujuk lagi
Namun adalah rasa kehilangan
Atas pertemuan yang tak tersesalkan
Atas dunia yang tak tertinggalkan
Atas perpisahan yang tak terucapkan

Berapa kali purnama datang
Kuhitung dengan nafas semakin dingin
Udara kian renggang. Udara kian renggang

Diamkanlah segala sedih pada yang lain
Jikapun sempat janji sudah tiada. Lagi –
Sebelum lengkap pesona
Khianat sudah tiada
Sebelum terbuka suara
Pengembara sudah sampai. Di sana

Mei 70

Sumber: Horison, Th. 5, No. 12, Desember 1970.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.