Iman Budhi Santosa (1948-2020)
Yang Pertama dan Akhirnya
waktu yang jatuh mengusik mimpi-mimpi itu
adalah setasiun pertama, di mana hidup mulai bergerak
di atas roda-roda peristiwa demi peristiwa
aku pun menjulurkan kepala untuk melihatnya
siapakah dia yang tiba-tiba menyelinap
di batas tidur dan jaga
serta diam-diam mengatur rencana perjalanan ini
menjeritkan peluit pada dunia
untuk menerima kuntum-kuntum bunga merah
yang bakal dirangkai
dalam karangan sejarah.
sebab dia bagai cahaya yang berpendar-pendar
di sela jeruji gerbang itu
dan sesampainya aku di sana tiba-tiba mengumpul
dan memanjang-manjang
bagai sebuah jembatan gantung
yang menghubungkan dua makna
ada dan tiada; langit yang tidak ubahnya
warna-warna hitam
yang merapat di atas kepala, dengan langit
yang melengkung
dan senantiasa membungkus sampai ke bawah dunia
sedangkan apa yang kudapat hanyalah segenggam udara
yang mengalir ke dalam tungku peparu
menghidupkan kelima perlambang yang satu
dari hidupku.
maka jadilah dinding-dinding daging itu
dinding-dinding penjara
dinding-dinding yang paling kubenci
serta dinding-dinding
yang paling ramah
memberi arti
pada diri sendiri
menerima dengan hati-hati tanpa dendam
ke arah matahari terbit
hingga saat-saatnya tenggelam
aku tidak mengenal tenaga apa
yang melemparkan
sang matahari itu
sebab aku pun matahari yang terpelanting
dan berpusing
di antara bintang-bintang yang bergerak
cepat serta menghilang
masuk ke dalam dunia hakikat
yang terang benderang.
maka waktu itu pun telah membeku
dan mengeras
memberat di ujung tali-tali
hidupku
yang sebentar lagi akan terlepas direnggutnya
sementara ia rangkaikan kata demi kata di udara
dan membisikkannya dengan halus pada telinga kanan
gerbang itu telah terbuka, dan aku pun melihat
istana yang megah dari kerajaan dunia.
tiba-tiba seluruhnya telah lenyap
bagai seribu warna yang lebur
lalu ketakutan-ketakutan dari kehendak
yang senantiasa terkendali
serta kecintaan-kecintaan
yang telah terkubur di bumi ini
mencoba berkenalan, kadang bersembunyi
di balik pintu jantung
membacakan mantera setiap saat
angkasa memekik-mekik
bagai raksasa
tidak ubahnya suara setengah dewa
yang menggaung
serta mengalir langsung
dari mata-air jiwa
jadi inilah baris pertama
yang tersusun dari
aneka peperangan
yang kabur dan senantiasa terkandung
semenjak engkau rahasiakan
hubungan kita
jadi inilah tanganku
tangan yang sia-sia berjabat
setelah terlambat sepenuhnya merenung
kegaiban hidup
sebagai mahkota
senantiasa aku pun bangkit
untuk mengenal diri sendiri
lebih dekat, lewat matahari
membunyikan harapan-harapan
di atas langit-langit kenyataan
untuk kembali berpijak
di tanah
asing.
Ungaran, 1976-1986
Sumber: Tonggak 3 (Gramedia, 1987)