Puitika: Majas Alegori

Majas Alegori

Oleh Hasan Aspahani

ALEGORI. Pengunaan cerita, petikan dari cerita (terutama nama tokoh dan nama tempat dalam cerita itu) sebagai lambang untuk menjelaskan atau menyampaikan sesuatu yang mengandung ajaran atau nilai-nilai kehidupan.

Contoh:

a. Kamu Sangkuriang, bukan? Cinta bisa mengubah darah!”

(“Libido Sangkuriang”, Sitok Srengenge, “Nonsens” Kalam: Jakarta, 2000)

b. …Teleponlah aku pada jam pulang kerja, sebelum melepas tali sepatu, seperti balladamu yang penuh sabun: Cinderella, Toffler, Naisbitt…

(“Sebuah Kantor dan Warna-warni”, Afrizal Malna, “Kalung dari Teman”, Grasindo: Jakarta, 1999)

c. Sekali akan turun lagi
    kapal Nuh di pelabuhan malam
    tanpa kapten
    hanya Suara yang berseru ke setiap hati:
    “Mari!”

(“Kapal Nuh”, Subagio Sastrowardoyo, “Simphoni”, Pustaka Jaya: Jakarta, 1975)


d. kueja setia, semua pun yang sempat tiba
    sehabis menempuh ladang Kain dan bukit Golgota
    sehabis menyekap beribu kata, di sini
    di rongga-rongga yang mengecil ini

(“Prologue”, Sapardi Djoko Damono, “DukaMu Abadi”, Bentang: Yogyakarta, Cet.2. 2004)


e. Dikutuk-sunpahi Eros
    Aku merangkaki dinding buta,
    Tak satu juga pintu terbuka

(“Lagu Siul”, Chairil Anwar, “Aku Ini Binatang Jalang”, Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)

Sangkuriang, Cinderella, kapal Nuh, ladang Kain dan bukit Golgota, Eros, adalah tokoh dan nama tempat dalam cerita yang masing-masing mengandung nilai-nilai kehidupan. Penyair tidak sekadar menempelkan nama-nama itu di bait-bait sajaknya.

Penyair tentu telah mempertimbangkan keutuhan sajaknya, dan kepadatan makna yang hendak ia sampaikan di dalam sajaknya, dengan menggunakan nama-nama itu, memanfaatkan khazanah alegori itu.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *