Oleh Hasan Aspahani
Sebagai penyair modern Indonesia ia merumuskan dirinya sebagai Malin Kundang, yang gelisah dan ingiin meninggalkan dan tergoda untuk mendurhaka terhadap budaya ibu. Yang mula-mula ia tinggalkan adalah bahasa ibu, Bahasa Jawa, satu-satunya Bahasa yang ia kenal pada mulanya. Ia sadar benar bahwa Bahasa Indonesia yang ia pakai untuk menuliskan puisinya adalah bahasa yang sedang dibangun, bahasa yang muda. Orientasi budayanya pun ia tujukan kea rah lain: Ia berpaling ke barat. Begitulah cara Goenawan Mohamad memahami dirinya sendiri, dan begitulah pula tampaknya ia ingin dipahami.
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Dalam satu artikel yang menyoal sajak Imajis di Indonesia, Abdul Hadi WM sampai pada kesimpulan: Sapardi imajis, Sutardji surealis, dan Goenawan simbolis. Seberapa tepat kesimpulan itu mungkin kini bisa diurai lagi. Tetapi setidaknya tulisan itu mengukuhkan kekuatan tiga penyair besar kita itu dalam peta perpuisian Indonesia, di mana Goenawan adalah salah satunya.
Tiga hal tak bsia dipisahkan dari sosok Goenawan Mohamad: jurnalis, esais, dan penyair.
Sebagai jurnalis ia mencatatkan namanya di negeri ini lewat majalah Tempo yang ia dirikan sejak 1971 dan melewati prahara sepanjang berdirinya, sempat diberangus, lalu terbit lagi. Ia menjadi pemimpin redaksi hingga 1998. Ia menerima penghargaan internasional World Press Review’s International Editor of The Year Award (1999).
Tetapi sejak muda ia lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia menulis sejak usia 17 tahun, dan menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson, yang dimuat pada Harian Abadi tahun 1960-an. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Karya yang pertama kali ditulis Goenawan ikut dikumpulkan dalam kumpulan puisi Manifestasi bersama Taufiq Ismail, M. Syaribi Afn, Armaya, dan Djamil Suherman.
Goenawan belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, juga di Oslo, Norwedia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat (1989/1990).
Sebagai esais ia banyak disebut sebagai penulis esai terbaik, terkuat, dan prolifik. Esainya mengalir terutama lewat rubrik Catatan Pinggir di majalah Tempo, yang hingga kini masih menemui peminatnya, dan sudah terbit dalam sepuluh jilid buku. Esainay juga terangkum dalam buku: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sebagai penyair ia menerbitkan buku puisi: Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001), Fragmen (2016). Sebagian sajaknya diterjemahkan ke dalambahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia juga menulis libretto dan sejumlah naskah lakon, Surti dan Tiga Sawunggaling, Surat-Surat Karna, Visa, Tan Malaka, dan Amangkurat, Amangkurat.
Pada 1992 Goenawan Mohamad menerima Penghargaan A. Teeuw di Leiden, Belanda. Ketika menerima penghargaan itu, Goenawan mempersiapkan pidato pengukuhan dengan mengemukakan konsep kepenyairannya: sastra sebagai pasemon.
Pada 2004 Goenawan menerima Ahmad Bakrie Award sebagai budayawan, tetapi pada 2010, penghargaan itu ia kembalikan sebagai sikap politik dan protes kepada Aburizal Bakrie yang membuatnya kecewa.
Aktivitas politik tak juga bisa dipisahkan dari sosok Goenawan Mohamad. Ia ikut merumuskan dan menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Setelah Tempo dibredel pada 1994, ia menggalang kekuatan seniman lewat Komunitas Utan Kayu lalu berpindah dan berganti nama menjadi Komunitas Salihara. Sebuah oase kebudayaan dengan kegiatan yang ajek. Ia membangun komunitas seni sebagai balas jasa, sebab ketika pembredelan itu dukungan terbesar justru datang dari kalangan seniman, ujar Goenawan.
Presiden Joko Widodo atas nama negara menyematkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Goenawan Mohamad di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015.