Esai: Leopardi – Hasif Amini

Leopardi

Oleh Hasif Amini

TUBUHNYA yang ringkih dan sakit-sakitan sejak kecil membuat ia jauh dari pergaulan orang ramai. Wajah yang buruk (atau tak sebagus yang tampak dalam sejumlah lukisan potretnya) dan rasa percaya diri yang tipis rupanya membuat riwayat hatinya sering ditoreh kegundahan. Ia pun lebih banyak menenggelamkan diri ke dalam lautan buku di perpustakaan milik ayahnya—seorang bangsawan cendekia di kota kecil Recanati, Italia, yang tak cakap mengelola kekayaan keluarga dan telah menyerahkan semua urusan pencaharian kepada sang istri. Konon akibat terlalu banyak membaca jadilah perawakannya agak bungkuk, meski alam pikirannya seluas langit malam. Pada usia 22 ia telah menguasai tujuh bahasa, menerjemahkan sejumlah naskah klasik, dan menulis sebuah traktat astronomi dalam bahasa Yunani kuno. Ia melajang sepanjang hayat.

Giacomo Leopardi (1798- 1837), penyair yang acap disebut sebagai lirikus terbesar dalam kesusastraan Italia (atau “penyair kedua setelah Dante”) itu, adalah sebuah suara khidmat yang muram namun megah dari zaman romantik. Di tengah khazanah sastra Italia yang sering riuh oleh pekik juang dan rintih dari jalanan masa itu, puisi Leopardi yang menapis gejolak jiwa menjadi irama kata dan makna merupakan sebuah warisan ganjil yang berjejak panjang. Puisi modernis Italia—dengan tokoh seperti Gabriele d’Annunzio, Eugenio Montale, Cesare Pavese, dan Giuseppe Ungaretti—bisa dikatakan sebagai “turunan langsung” dari lirik kontemplatif Leopardi yang bertemu dengan sensibilitas urban modern yang penuh kerlap, kejutan, dan keterpecahan.

Sajak-sajak Leopardi, yang terkumpul dalam Canti, hampir secara konstan membersitkan suasana rawan perhadapan manusia dengan misteri diri dan dunia yang tak tepermanai. Segala rasa perih dan pahit (begitu pun segenap kenangan maupun khayalan indah) yang terus silam dan fana dalam waktu, serta mengerdil atau bahkan menjadi nihil dalam kemahaluasan semesta, membangkitkan kesadaran akan setiap momen hidup sebagai sesuatu yang tak ternilai tetapi mungkin juga sekaligus hampa dan sia-sia—itulah noia. Sebab, seperti ia tulis di larik penghabisan sajak “Nyanyian Terakhir Safo”: segala cita, harapan, dan penghiburan akhirnya akan harus diserahkan “kepada sang ratu bayang-bayang, kepada malam hitam, dan pantai diam”.

Citraan dalam sajak Leopardi sebenarnya sering tak terasa ajaib. Ia kerap menerakan antara lain kata bulan, mata, malam, mimpi, maut—deretan imaji yang nyaris sudah menjenuh dalam pelbagai khazanah puisi. Namun, yang cukup khas pada Leopardi adalah kebiasaannya menyeling hal-hal konkret dengan yang abstrak secara tiba-tiba. Sepotong citraan seakan berkelindan dengan sebuah gagasan (misalnya perihal ingatan dan ketakterhinggaan), dan dengan demikian sekaligus menimbulkan gerak putus-putus yang berirama. Selain itu, persajakan Leopardi tampak mencoba melepaskan diri dari bentuk yang ketat dan mulai merintis jalan ke arah sajak bebas. Hal-hal tersebut tentu kemudian tampak menonjol dalam karya-karya kaum modernis di Eropa dan Amerika, dan nama Leopardi memang agak dilupakan.

Namun, barangkali ia telah mafhum belaka. Menggubah kidung muram di bawah lampu dan bayang-bayang/ Kucurahkan desah ke arah sunyi dan malam/ Sebab jiwaku lepas sendiri dan melantunkan/ Buat diriku sebait lagu kematian (“Kenangan”).

Sumber: Kompas, Minggu 07 Mei 2006

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *