Oleh Hasan Aspahani
SESEORANG berjalan membawa-bawa beban peristiwa masa kecilnya: dua orang lelaki berkelahi di pasar hanya karena bersenggolan badan. Kenapa mudah sekali orang berkelahi? Ia juga membawa-bawa beban peristiwa lain. Seorang lelaki Makassar yang ditolak lamarannya atas seorang perempuan Bugis hanya karena ia berasal dari sebuah daerah, dan lelaki Makassar lain diterima karena ia berasal dari daerah yang lain. Ia bertanya kenapa. Jawaban bahwa ketidakbolehan dan kebolehan itu adalah pappaseng tau toae, pesan para orang tua dahulu, tentu ia harus terima itu begitu saja, seperti orang lain yang hidup dalam keterikatan budaya yang sama, tapi itu tak menghentikan ia bertanya.
Suatu ketika ia membaca sebuah buku. Sebuah medan teks naratif tentang Perang Makassar yang di sana ia menemukan penjelasan yang baginya terkait dua hal itu. Buku itu Warisan Arung Palakka, ditulis oleh Leonard Y Andaya. Apakah ia menemukan jawaban? Apakah ia berhenti bertanya? Ternyata tidak. Di kepalanya datang banyak pertanyaan lain, susul-menyusul. Karena ia penyair, penjelasan itu dan pertanyaan susulan itu ia olah, ia cerna, untuk dihadirkan dalam serangkaian puisi. Begitulah kira-kira Ibe S Palogai melahirkan buku “Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi” (Gramedia, 2018).
Kasus Ibe dengan buku puisinya ini menghamparkan di hadapan kita betapa rumit sesungguhnya jalan yang ditempuh oleh sebuah puisi untuk menjadi ada. Penyair, sebagai mana anggota masyarakat lain, berada dalam kultur di mana ia hadir. Ia hidup dalam realitas keseharian, menaati atau mencoba membangkang, mungkin mengabaikan, tapi pasti ia dipengaruhi, oleh simbol-simbol nilai, termasuk seni, sejarah, dan bahasanya. Realitas yang tak terpahami itu, yang ia pertanyakan itu, pada Ibe, menjadi pemantik untuk menulis puisi. Objeknya adalah sejarah yang ia temukan sebagai apa yang bisa ia rangkul sebagai penjelasan dari pertanyaannya tadi. Saya bayangkan itu memang bukan jawaban, sebab nyatanya ia memang merasa tak menemukan jawaban yang membuat ia berhenti bertanya. Ia justru dikepung semakin banyak pertanyaan.
Jika kerinduan atau kesepian adalah situasi di mana seseorang berada di suatu tempat yang tak memuaskan dia, atau tidak ia inginkan, sementara dia tahu ada tempat lain yang ia ingin dia ada di sana, maka kerinduan Ibe atas jawaban dari pertanyaannya adalah sejenis kerinduan dan kesepian juga. Pertemuannya dengan buku yang menjelaskan itu melahirkan hal pokok bagi penyair sebelum menulis puisi, yaitu kesadaran. Dan Ibe menemukan lebih dari kesadaran itu. Ia menemukan energi. Ia sadar bahwa ada yang salah dari perilaku puaknya hari ini – mudah berdarah panas, menolak pinangan sebab asal seseorang, dan banyak hal lain yang ia sebut korban yang tak pernah hadir dalam catatan sejarah – jika alasan dan landasan sejarahnya adalah perang ratusan tahun lalu itu, siapa yang dianggap pemenang yang harus dirayakan, dan siapa yang dicap sebagai pengkhianat yang seakan tabu dibicarakan.
Di hadapan bentangan sejarah itu Ibe seakan tergagap. Ia meraih kesadaran tapi kerinduannya tak tuntas. Ia seakan tak punya kemampuan yang cukup untuk mencerna realitas sejarah yang bertumbukan dengan realitas kini, dan lekas-lekas menyadarkan diri untuk mengambil posisi sebagai seseorang yang sedang belajar membaca (lagi): aku belajar membaca / dari langit yang terbelah pada malam purnama / dan embikan mulut domba di padang awanama. Ini posisi yang tepat. Dengan menyadari diri sebagai pembaca dan pembelajar, maka ia bisa terus bersikap kritis.
Buku ini adalah perayaan kekalahan. Ya, dari sebuah perang, pada hakikatnya tak ada pemenang, semua menanggung akibat dari kekalahan. Ibe mempertanyakan dan mempernyatakan pada banyak sajak: betapa sunyi hanya permainan menebak arah / yang tak pernah mengakui pemenang (Walasuji, hal. 22) sebab kemenangan itu maya, mendiami derita lawan / tapi luka siapa yang bersulang di tubuh ini? (Nawa, hal. 25) apa arti kemenangan / yang kucapai dengan mengkhianati tanahku sendiri? (Kemenangan dan Perdamaian, hal. 60); di atas meja tua, kulihat perangkap tak melahirkan pemenang / sementara sarung-sarung dari harimau itu, alas yang halus / untuk setiap meja sejarah kita (Perayaan Kekalahan, hal. 79)
Petikan terakhir di paragraf sebelum ini berasal dari sajak “Perayaan Kekalahan” yang saya kira menyimpan seluruh roh sajak dalam buku ini. Dengan sepenuh hormat atas pilihan judul yang sudah sangat bagus, saya membayangkan sajak inilah yang musti jadi judul buku. Ya, buku ini adalah perayaan kekalahan. Kekalahan siapa? Kekalahan seluruh orang Bugis dan Makassar, terutama kekalahan anak-anak mudanya, yang belum juga bisa membereskan apa yang seharusnya tak lagi menjadi beban hidup hari ini.
Sebagian besar puisi-puisi dalam buku ini dihadiri oleh kata “kalah” dan bentukan-bentukan gramatikalnya: mengalah, mengalahkan, kekalahan, kekalahannya. Bahkan ada satu sajak yang mengulang hingga tiga kali kata itu. Maka, beginilah Ibe mengajak siapa saja menjadi bijaksana, meninjau lagi sejarah, dan merayakan “kekalahan bersama” sebagai jalan untuk membentuk lagi simbol-simbol baru dari apa yang yang sebenarnya sudah tak lagi relevan.
Ia tak lagi hanya mengerjakan karya sastra yang simptomatik, yang hanya menyajikan gejala-gejala sosial, pada saat yang sama ia juga menawarkan sebuah karya yang diagnostik, bahkan dialetik dimana dengan puisinya ia mempertentangkan sistem simbol dan sistem sosial dalam masyarakatnya. Sebagai sarjana sastra Indonesia, saya yakin Ibe dengan sadar memainkan arah sastra itu sebagai mana dijelaskan oleh Kuntowijoyo dalam bukunya yang penting Budaya dan Masyarakat (Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006).
Terakhir, sebagai pembangkit selera atas nikmatnya sajak-sajak Ibe, saya cicipkan satu petikan, yang cukup untuk membuktikan bagaimana dalam hal kemahiran memainkan perangkat puitika, penyair kita ini tak lagi perlu diragukan: di kursinya terduduk seperti tersangka / tak mampu mengakui kesalahannya / di atas peta berserakan mayat-mayat maya / dengan darah menggenang nyata//. Dalam sebait saja, simile, imaji visual, kontras, ironi, bunyi, dan rima disusun sedemikian padat dan bertenaga. Dan bait-bait seperti ini bertebaran di sepanjang buku ini.
Jakarta, Juni 2018.