Esai: Memahami (dan Menikmati) Teks dari Lakon yang Tak Berteks

Oleh Hasan Aspahani

APABILA teks kita pilih untuk kita hadapi sebagai struktur jejaring makna yang tersusun dari serangkaian simbol-simbol,  sebagaimana dijelaskan dalam seni memahami (hermeneutik) maka bergembiralah kita di hadapan sebuah buku puisi.  Sebab buku puisi dengan puisi-puisi yang baik yang termuat di dalamnya adalah undangan untuk menyibukkan diri mengungkap makna puisi tersebut.  Dan apabila tema tunggal dalam sebuah buku puisi berhasil menambahkan pengetahuan baru, sementara itu sebagai penumpang dalam puisi, pengetahuan itu sama sekali tak mengganggu bahkan menambah nikmat bagi pembacaan atas puisi itu,  maka beruntunglah kita sebagai pembaca.

Begitulah kira-kira kegembiraan saya di hadapan buku puisi Dadang Ari Murtono, Ludruk Kedua (Basabasi, 2016).  Saya menjadi pembaca yang bergembira dan beruntung.  Saya tahu ludruk, drama tradisi yang dulu di masa kecil kerap saya tonton di siaran larut malam televisi negara.  Tapi saya tidak pernah tergerak untuk tahu lebih jauh tentang seni lakon berbahasa Jawa itu.  Membaca puisi-puisi di buku ini saya mendapat pengetahuan banyak tentang ludruk.

Sampul “Ludruk Kedua”.

Ya, puisi-puisi dalam buku ini bertema tunggal: ludruk. Lakon yang tak berteks itu. Sebegitu sempitnya? Ya, dan itulah tantangan yang berhasil ditaklukkan oleh Dadang Ari Murtono. Dalam wilayah sempit itu ia leluasa dengan intens mengenali lebih dekat segala hal di sana: sejarah ludruk, para senimannya, apa itu transverti, bagaimana belajarnya, tata cara pertunjukannya, cerita-ceritanya yang tanpa naskah itu, tokoh-tokoh dalam ceritanya, para penontonnya,  penanggapnya, pendukung dan penentangnya.

Semua hal-ihwal seputar ludruk itu disampaikan oleh Dadang lewat puisi yang baik dengan cara yang sangat baik. Baik, artinya ia beres sebagai puisi.  Artinya, Dadang tidak sibuk dengan tema, meskipun ia berangkat menyair dari tema itu. Dari mutu puisinya kita bisa menilai Dadang memusatkan perhatian pada cara ucap, pada estetika, sebab ia sudah beres dengan tema sajaknya.

Mari kita perhatikan bagaimana ia menciptakan berbagai cara ucap untuk satu hal yang sama: transverti, lelaki yang berperan sebagai perempuan, apa yang khas dalam pementasan ludruk, sekadar beberapa contoh: para transvesti itu, juga memilih bahasa / dan kelamin yang lain (“lerok”, hal. 19); lalu kami terima pria yang jadi wanita, tukang binatu sebagai ratu / atau sebuah kematian yang tak berdaya dalam teriakan seorang waria (ludruk, hal. 20); ia bisa menjadi apa yang dikehenbdakinya / menjelma lelaki yang dipanggil simbok, / atau putri atau emban (transvesti, hal. 21); “ini dosa,” ujar yang lain, yang laki-laki namun tak jelas-jelas laki-laki (peristiwa dalam tobong, hal. 23; dan perempuan-perempuan yang tidak / sepenuhnya perempuan akan melolong (bersiap menonton ludruk, hal. 24).

Saya ingin mengajak kita merayakan dan menikmati variasi cara ucap itu. Dadang menuntaskan dengan baik dan tekun satu tugas penyair yaitu membuktikan dan menemukan bahwa kemungkinan cara pengucapan itu sedemikian terbuka kemungkinannya.  Nilai lebih harus ditambahkan lagi, sebab cara ucap yang beragam itu hadir dalam puisi dengan wajar belaka. Ia tidak hadir dengan beban ‘asal beda’, tapi memang diperlukan untuk ducapkan begitu pada masing-masing sajak, menciptakan nada dan emosi yang bermacam-macam.

Unsur-unsur ludruk yang dihadirkan oleh Dadang di dalam sajak-sajaknya, kemudian juga tak berhenti sebagai penjelas ludruk itu saja, meskipun jika memang itu yang ingin diambil, maka itupun terjelaskan dengan baik. Ia mula-mula menjelma menjadi serangkaian simbol-simbol, dan dari sana kemudian terbangunlah jejaring makna, yang melampaui ludruk dan bahkan mungkin melampaui puisi itu sendiri.  Puisi-puisi Dadang mendedahkan keresahan (dan kegagahan) kehidupan, yang tidak cengeng. Ludruk, di tangan Dadang, diucapkan, segaligus dipakai sebagai alat pengucapan.

Kita bisa melihat banyak hal di sana, untuk sekadar memetik sebagian, kita bisa menemukan: kegelisahan (tidak aka nada lakon waktu itu / seban tak satupun tiket laku; hal. 23) ; kepasrahan (sebuah kematian, betapapun, / memang mesti diumumkan lalu dirayakan; hal. 37); perlawanan (segala yang gagal membuatmu menyerah / akan menjadikanmu lebih tabah; hal. 32);  kesepian (mereka berciuman tiga detik kemudian / lama, tapi jelas tak selamanya; hal. 23); cinta yang keras kepala (sutinah seorang perempuan / yang berjalan di atas mayat-mayat / sambil menghikayatkan / cara menjaga cinta yang tak pernah tamat; hal. 47; cinta, sukarsih, membikin besi jadi singkong basi; hal. 61)

Dadang menulis sebuah pengantar di buku ini. Pengantar ini pun ditulis dengan baik. Ia menceritakan kenapa dia menulis puisi. Dan lebih khusus lagi kenapa di buku ini ia menulis puisi tentang ludruk.  Kadang-kadang penjelasan seperti itu mengganggu, sok naif atau malah sebaliknya sok tahu dan menganggap pembaca tak tahu apa-apa.  Saya bayangkan, pembaca sebagaian besar akan terbantu dengan pengantar Dadang pada bukunya ini. Sebagai bagian dari keseluruhan teks, pengantar itu juga mengandung simbol yang berjejaring dengan puisi-puisi yang diantarnya. Setidaknya bagi saya begitu, atau saya ingin memanfaatkan itu sebagai bagian dari data yang saya rajut dalam jejaring pemaknaan saya atas teks puisi Dadang.

Buku ini adalah janji Dadang Ari Murtono, sebagai seorang penyair yang hendak bersungguh-sungguh bekerja untuk puisi, memperkaya lagi puisi Indonesia, sekaligus bukti bahwa ia sudah memenuhi janji itu. Ini adalah buku puisi yang sangat efisien. Semua hal dimanfaatkan. Perangkat puitika dipakai dengan wajar menghasilkan puisi yang umumnya hadir dengan kuat.

Termasuk kesempatan untuk menyampaikan semacam kredo, kerangka kerja estetis yang sempat-sempatnya diselipkan dalam puisi —  pada waktu itu,/ si penyair yang tak pernah berhasil / menjatuhkan salju dan membangun musim semi / dalam puisi-puisinya / terkenang ludruk dan cerita hari lalu / di kampung sendiri (jaka sambang pulang, hal. 44-45) —  atau memang secara khusus disampaikan dalam sebuah puisi (baca sajak terakhir: menonton ludruk dari balik jendela sewaktu gerimis; hal. 100).  Buku ini dihasilkan dengan kerja menyair dari seorang penyair yang peka dan jeli.

 

Jakarta, Juni 2018.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *