Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan

Pengalaman dengan petualangan dan pertemuan itulah yang terjadi pada Budi Darma ketika membaca sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam buku “Pariksit”. Petualangan itu memberinya keasyikan dan kesempatan merenung dan bicara pada dirinya sendiri, menggelar sebuah “solilokui’.

Seperti apakah sosok Goenawan Mohamad yang ditemukan Budi Darma dalam sajak-sajaknya? “Sebagai penyair dia punya kebulatan yang bukan seorang yang hanya bisa menulis puisi,” katanya. Goenawan menunjukkan kemampuannya membuktikan kata-kata Eliot bahwa puisi adalah bentuk aktivitas intelektual yang paling tertata.

Sajak Goenawan, khususnya “Bintang Kemukus”, bagi Budi Darma, mengingatkan bahwa seni puisi tak lagi cukup hanya berupa wujud dari getaran sukma, seperti diyakini dan kerap dikatakan para penyair Pujangga Baru. Intensitas puisi juga menuntut pengerahan daya intelektualitas.

“Penyair yang baik mempersatukan dalam dirinya bakat alam dan intelektualitas. Puisi yang merupakan kegiatan intelektuil ini sebetulnya merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh semua yang berusaha untuk menjadi penyair,” kata Budi Darma. Soal bakat alam dan intelektualitas itu dikutip Budi Darma dari Subagio Sastrowardoyo.

Jadi dalam diri penyair ada dua kubu yang saling menyerang. Pihak intelektualisme menyalakan bara, di lain pihak ada perasaan, emosi, hati, menumpulkan pikiran,  yang mematikan nyala bara itu. “Hanya orang yang selamat dari perang saudara ini sajalah yang dapat menjadi penyair yang baik,” kata Budi Darma.

Budi Darma mengutip pendapat Abdul Hadi WM yang ia setujui, bahwa seorang penyair yang baik adalah seorang esais yang baik, sebab – selain harus cermat menuruti gelombang sukma – ia harus dengan cemerlang menyalurkan gagasan-gagasan. Goenawan Mohamad dengan puisi-puisinya menunjukkan kelengkapan itu.

Yang juga ditemukan oleh Budi Darma dalam sajak-sajak Goenawan (Ia menyebut “Di Beranda Itu Angin Tak Kedengarfan Lagi”) adalah kesederhanaan. Itu ia sebut terkait dengan intelektualisme. “Itu menunjukkan kebeningan dan kebersihan dalam bepikir. Memungkinkan mengorganisasi dan memformulasikan pikiran dengan baik,” katanya.

Tap, Budi Darma lekas menambahkan, bahwa tidak semua puisi sederhana adalah puisi yang baik dan mencerminkan kejernihan pikiran. “Apabila tanpa imajinasi justru yang tampak adalah pikiran yang kurang matang. Imajinasi yang gamblang, jelas, meninggalkan bekas kontemplasi yang jelas,” katanya.

Akhirnya, di ujung petualangannya, puncak yang dicapai oleh Budi Darma, alamat kejutan yang ia temukan adalah: sublimitas dan kontemplativitas, dua hal yang merupakan jalan bagi manusia untuk mengerti dirinya sendiri sebgai manusia.

Beberapa sajak Goenawan dalam “Pariksit” bagi Budi Darma adalah sajak yang baik yang menawarkan dua hal itu, yang berhasil menyentuh alam bawah sadarnya sebagai manusia. “Puisi yang baik secara totalitas menyentuh totalitas bawah sadar manusia dengan tidak memberi kesempatan adanya intervensi gangguan,” kata Budi Darma.

Apakah gangguan itu? Nanti kita bicarakan lagi.

 

Bacaan: Budi Darma, “Sebuah Soliloqui Mengenai Goenawan Mohamad”; Horison, Thn. XII,  Februari 1977.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *