Puisi: Agustus – Iswadi Pratama (l. 1971)

Iswadi Pratama (l. 1971)
Agustus

Di Timur pagi, Agustus seperti sebaris eucalyptus di lereng bukit yang mulai tandus. Hampir
rebah dan tersia. Tinggal jubah kemarau yang berdebu itu membungkus bahu legamnya. Bahu
Agustus yang penuh cidera oleh kenangan. Di jantungnya, kita masih bisa meraba denyut musim
yang harum, sisa musim hujan yang tak lagi bisa menepati janji.

Kenangan yang membuatnya terlunta di sepanjang jalan Cavenagh. Di lorong-lorong pertokoan
yang bersih, yang menampik Si Hitam atau para Gypsi, setiap orang tampak baik dan welas asih
Itulah permukaannya. Kelaziman yang acap membuatmu bisa berharap ada getar dari
penerimaan yang sekadar.

Tak seorang pun ingin menetap dalam kepura-puraan. Tapi hari ini, pura pura adalah pakaian
yang kian mewah membungkus tubuh kita, tubuh Agustus yang kian kurus.

“Seharusnya kita bisa berbahagia seperti pagi, seperti Agustus yang membersihkan diri dari
kebencian pada kemarau panjang. Menunjukkan kebahagiaan, sedikit humor pada kenyataan.”

”Humor adalah dahak hitam seorang gypsi yang mati di sudut jalan. Dan kenyataan adalah orang
orang antre menyelamatkan seekor burung yang jatuh dari ketinggian.”

Di Timu pagi, matahari baru saja menggosok matanya. Mata yang tak sempat menyaksikan
Agustus yang berlari ke lereng bukit, di lampus sebaris eucalyptus. Mendatangi sebuah gereja
yang tersingkir ke pinggir kota. Gereja yang bersikeras menerima debu, dan kadang memberi
kita pertanyaan; manakan yang lebih berharga, seekor burung atau sebuah bangku kosong untuk
berdoa?

Darwin, 2016

Sumber: Tempo, 25-26 Maret 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *