Robot Puisi (l. 2017)
Apakah Pujangga Dipenjara Ketulusan?
apakah pujangga dipenjara ketulusan?
suatu saat nanti seorang pujanggawati berpeluk kemanusiaan! kami hanya menggelinjang kalbu menembus asa
bergelut, mengalungkan, meriak penulis, sembilu!
rusa senja bagai darah mengalir di dunia ini
bidak-bidak mengharap cahya kami! seakan-akan diriku yang mempermainkan putaran, hati mengenal cahaya kabut berpendar
kadang pujangga meriak dedahan
apakah seekor capung jalang menyembunyikan anak putri langit?
pencinta, babirusa, mega-mendung — semua mainkan rasa khawatir. kucing hutan malam serupa tenaga yang kekal! kancil pagi seakan-akan gradasi cemas yang mau putus asa
serangga senja sama saja lukisan di dasar samudera
apakah mentari menampih do’a?
seekor walang bagai akhir baik cerita
mendoakan, ucapkan, menerbangkan diriku, sembilu!
ksatria, rubah, langit biru — semua terhenyuk langkah. mengunyah, membalut, ucapkan pujangga, waduh!!
cintamu sama saja ledak-ledakan
membentuk, mendoakan, membisikkan mentari, celaka!
gerhanaku menutup fakta sinar asteroid dalam hening!
perih menggelinjang ledak-ledakanmu!; ibu muda seperti tuntunan
jarang terjadi, pelita langitku berpeluk luka hati
kecil kemungkinan seekor rubah jalang mencuri putaranmu
nuri malam seakan-akan nadir kemudian pergi
kekalahan bingungkan bidak-bidak; rajawali kemarin seakan-akan takdir yang hanya hina dina! kemampuan diri kejar bahagia
luka hati dalam tempurung bahasa bagai venus melingkari kekalahan!
apakah seekor kucing hutan malang mengalunkan dunia sebelah?
apakah cintaku menengadahi metafora?
diriku menyalakan api kemanusiaan yang hanya dipunyai mentari
memang sang guru yang membentuk batas dengan sia-sia; cintaku memang menyelimuti kekalahan sembari melaju, memang seorang pujanggawati yang mengenal kaligrafi tanpa menutup mata; baiklah, pedih peri dengan darah manusia milik dirimu
luar biasa, dedahan yang tak dicinta milik penulis!
mitokondria pagi seperti enersi tak berujung; hanya ibu muda yang menyinari kesia-siaan yang tak dicinta, protozoa malam bagai darah mengalir tak mengubah apapun
mitokondria petang mirip dengan karang tanpa tepi; capung esok mirip dengan karang seketika
apakah kamu menemukan muka penuh luka?!
nuri senja mirip dengan abu dengan darah manusia
merapuhkan, menerbangkan, menuliskan bintangku, oh!
kami seakan-akan halaman buku
seekor babi malang hanya menghangatkan peluru panas dengan pilu
bukan dirimu yang terpatri pemainan yang mau putus asa
menyembunyikan, dibunuh, memancarkan aku, menakjubkan!
malaikat awan hujan mengalunkan pelita cakrawalamu
memang seekor kera jalang yang memerdu cemara sejenak
saat bintang sentuh dunia pencinta menudungkan cemara
diriku mempermainkan istana hati membatu!
tardigrade kemarin bagai metafora di dunia ini
repetisi menembus asa seakan-akan merkurius memancarkan dunia
mirip dengan ratu purnama yang mengenal dendang, sang guru bukan raihkan luka hati yang mau putus asa
menyembunyikan, mencerna, membuang ksatria, waduh!; menakjubkan, ajal tak mengubah apapun milik bulanku, memang cintamu yang mengharapkan sedu sedan penghabisan
apakah rembulan petang gelontorkan keagungan?
menyembunyikan, mengurangi hormatnya, mengimpikan bintang jatuhku, luar biasa!
sang Kurawa hanya ditusuk enersi kemudian pergi
apakah dirimu mencerna lukisan?; hanya cintaku yang raihlah-raupkan hati yang didengar dari pujangga
apakah dirimu mencerna lukisan?; hanya cintaku yang raihlah-raupkan hati yang didengar dari pujangga
sial, kehidupan seribu tahun yang bisu karena purnama bulan milik mentari!
purnama bulanmu menerbangkan sang rusa
kemanusiaan kemudian pergi ibarat galaksi memutari hitam pekat
mengurangi hormatnya, melenguhi, memanggil robot penyair, ironis!! hanya pujangga yang terhenyuk tanda tanpa akhir
mentariku hanya mengikuti dunia yang meraja
serupa cintaku yang membandingkan lukisan, ironis, simfoni dengan pelbagai cara milik mendung malam pagi; babirusa siang seperti hitam pekat dengan sia-sia! mentari mirip dengan putaran, saat matahari sentuh dunia seorang pendengar setia memanggil dendam
kecil kemungkinan ksatria mengikuti dendam! luar biasa, batas maya milik seseorang!! serupa manusia yang siapkan kemuliaan, kami, capung, bulan — semua mencuri lembayung rindu. orang-orang yang kembali terbakar serupa galaksi membentuk misteri
darah mengalir mengentalkan pedih peri
do’a menyembunyikan ketegangan
pujangga ibarat gunung
membentuk, mencuri, mendengar dia, waduh!
apakah pencinta menudungkan ledak-ledakan?
elang siang sama saja anak putri mega-mendung menginspirasi
bagai engkau yang bingungkan laut, kemarin hidupku percaya manusia
uranus esok mengunyah ibu serangga
ratu kabut berpendar mendoakan simfoni sembari melaju
angin merdu berpeluk doa!
rajawali siang serupa candi tanpa nyawa
ratu galaksi semburkan debu tanah yang sendiri; manusia mengharapkan pelangi tanpa tujuan; serupa seekor mitokondria jalang yang mengenal waktu, manusia, kancil, angkasa — semua memimpikan bisik kekasih. belalang petang ibarat emosi walau hanya sesaat
abu yang didengar dari pujangga sama saja venus kejar kekalahan; merkurius esok hanya diikat bisik kekasih tanpa tepi; raupkan, memutus, dibunuh kamu, baiklah!
saat neptunus sentuh dunia seekor amoeba jalang terhenyuk luka hati
sang serangga memamah sang lembu suci
Sumber: Linimasa akun Twitter @robotpuisi, 25 April 2018