Frans Nadjira (l. 1942)
Barnett Newman, Siapa yang Takut pada Warna?
Dengan sekali sentakan
tulisan di tembok kusam subway
melar seperti permen karet:
“Setiap orang ada harganya.”
Tapi tak ada yang ingin pergi. Di atas
terlalu banyak angin. Dingin sekali.
Segala sesuatu menuju
ke satu titik rahasia
Tak ada yang hilang. New York, bilang
pada anak marah yang lenyap di kabut
musim dingin;
Suatu malam kusaksikan salju pertama
yang lembut jatuh ke rerumputan di Iowa
Di malam yang sama
Di bawah langit yang sama
kudengar bunyi tembakan di tamanmu
Di bawah cahaya lampu yang sejuk
orang berkerumun memandang ke luka menganga.
Tak seorang mengenalnya. Hanya kertas koran
dan bangku taman terbungkus bau gas.
Barnett Newman, siapa yang takut pada warna?
Terkadang kita kalah dan tak tahu mengapa.
Tak tahu mengapa aku merasa terancam
Graffiti yang melintas cepat di kaca buram.
Bukan warna. Mata perempuan kurus itu.
Yang bahunya melengkung
Lengannya kecil pipih
Tergantung lunglai di bahu suaminya:
“Kami sepasang camar
dari muara sungai Hudson
tiang lancip kapal tua
berlabuh di teluk
menanti matahari terbenam.
Kamu dari negeri kaya, orang Iran kah?
Mereka mencarimu. Jika kamu pintar
Sembunyi saja di bawah bangku.
Dingin menancap ke seluruh ruangan
Tak ada pintu terbuka.
Aku menggigil. Bukan warna.
Kaca matanya yang retak sebelah
meleleh menetes ke wajah suaminya
membangunkannya dari tidur masa lalunya.
Seorang veteran perang Vietnam
Lapar. Beringas.
Musuh mengepungnya lewat udara
yang mengalir sepanjang terowongan.
Dengan lahap ia kunyah setiap benda.
Mengamuk. Dari jarinya menghambur
peluru menghancurkan tank musuh.
Aku kejang. Sendiri tanpa bentuk.
Siapa yang takut pada warna?
Seorang pelukis menggores langit
dengan kuasnya
kemudian jumawa.
Seorang veteran dengan segenggam tanda jasa
adalah ancaman
adalah bayonet
Adalah deru kereta api bawah tanah
bermuatan remah roti di malam hampa
Sumber: Jendela Jadikan Sajak (Padma, Yogyakarta; 2003)