Dadang Ari Murtono
aku penyair bimbang, cak
bimbing aku
aku tak kuat berjalan dengan memanggul
perut lapar, dalam tasku, kata-kata
tak ada yang abadi
maka tunjukkan cak, duniamu itu,
semesta ludruk ontang-antingmu itu, kaki yang tak
lelah menghela langkah, dan bagaimana
apa yang kuucap di depan tukang becak penggemar
atau pinggir kali dengan sedikit pendengar
terus terngiang hingga kini, tak
lungkrah-lungkrah, tak payah-payah
aku pencinta bimbang, cak
bimbing aku
perempuan-perempuan datang datang
dan pergi meninggalkan bahasa
yang sementara, bahasa yang terlalu
sering diulang orang hingga cepat usang
maka ajari aku bagaimana cara menemukan
supartiku, seperti kau menemukan supartimu
setelah dua kisah cinta murungmu yang
selalu berumur setahun
aku tualang bimbang, cak
bimbing aku
tidak ada puisi dalam khazanah
masa kecilku, seperti tak ada parikan
dalam keluarga besarmu
tapi kau temukan jula-julimu sendiri, hei
putra kiai, dan kau tempuh pikiranmu sendiri
dan bertahan kau di sana, berdiri gagah
sebagai tualang sejati dalam ludruk garingan
lalu kacamata riben itu, cak
apakah sekedar penutup mata julingmu
ataukah kau jadikan tameng
agar suatu bagian dari dirimu
tidak dimasuki apa-apa yang mengajakmu menyerah?
Sumber: Kompas, 11 Januari 2015