Puisi: Catatan Justus – Boy Riza Utama (l. 1993)

Boy Riza Utama (l. 1993)
Catatan Justus

Barangkali Justus akan mencatat
Menit awal dari eksekusi terakhir
Di Stadhuisplein itu begini,

”Apa yang tak terekam oleh mata, tapi
Tercatat oleh tinta adalah maut yang
Bertengger dua hasta dari batang leher.”

Justus kembali menarik pena, serupa busur,
Hingga dawat merebak di jantung kertasnya,

”Puluhan, bahkan, ratusan, tatapan
Milik para perempuan lintas ras yang
Belum sempat dikencani, tiba-tiba
Memberi makna bagi segunung sepi.”

Lantas, Justus menambahkan lagi begini,

”Mata yang sakit di kepala-kepala itu
Telah membunuhnya lebih dulu
Sebelum pisau melayari tubuh
Dan tali gantungan keparat itu
Menyeret jiwanya ke langit jauh.”

Namun, sembari ia selesaikan catatannya
Kita bayangkan Justus bergumam,

”Maafkan aku, Impeh, karena kadang
Asmara bikin kita punya lagak
Jadi sedikit aneh – dan nyeleneh.”

Meski begitu, Justus tentu tak mencatat itu
Semua, kecuali semata khayalannya sehingga
Kisah ini diterakannya buat kita semua,

”Seorang Totok mati-bonyok, sama
Itu mata perempuan habis dikeroyok.”

Mata pena Justus berkilat, seperti ujung bayonet
Dan sebuah sejarah menyembur begitu deras,

”Tjoe Boen Tjiang, 1896,
Kena pasal Bataviasche Ordonnanties
Lantaran tak ada aturan soal cinta dan asmara
Maka kita doa biar dia damai – damai di ’sana’.”

Hatta, agar kisah itu dikenang kembali, Justus
Menyisipkan alusi yang akrab di kuping kompeni,

”Yesus disalib karena dianggap membangkang
Tapi langit menerjemahkannya sebagai cinta
Yang tak lekang – aku tak tahu soal lelaki ini
Karena mungkin dia sedikit berbeda, barangkali.”

Di penghabisan dawat, Justus teringat
Di Holland, hukuman mati tak sebanyak di sini
Akan tetapi, apa yang bisa ia lakukan di negeri
Yang bahkan belum terhapus dari peta buta
Kerajaan-kejayaan negerinya, dari mabuk kuasa
Berkepanjangan keturunan Willem nun jauh di sana?

Kini, kita bayangkan Justus diam-diam menepikan
Catatan itu seraya bertanya sekaligus berdoa,

”Tuhan, apa kami tak seharusnya di sini?
Tuhan, apa kami juga akan diadili oleh
Puak tungau-pencuri ini, suatu hari?”

 

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Maret 2018.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *