Hanna Fransisca
Sel nomor 12 mencatat nama
seorang penyair perempuan
yang menembak burung kenari
di taman kebunnya
sendiri
Ia menjadi legenda bagi para pembunuh
bertangan hitam yang selalu mengasah pisaunya
diam-diam.
Mereka menuliskannya
di catatan harian,
pada tembok dingin
jeruji penjara.
Tembok dingin
yang mencatat
perih
kesakitan.
Tembok dingin
yang menuliskan
dendam luka
kegelapan.
”Pagi itu bunga matahari baru saja mekar sempurna.
Dalam sisa embun cahaya, seekor kenari kesayangan
Mengajak penyair bercanda. Kenari kesayangan
di kebun bunga, yang senantiasa hinggap
di pagar-pagar
rumah kita.“
Mari dengar nyanyi nada seruni, katanya. Sayapku
peri kecil riang menari, menghalau sunyi dari diri.
Kita pindahkan harum angin
dari ranting berduri. Memandang semesta, mengirim kata
untuk tumbuh bunga-bunga.
Tapi penyair yang hanya memandang kecantikan diri,
tak akan pernah bisa menulis cinta. Ia memandang hina
kepada cela. Lalu menulis dusta
di atas kata-kata.
Penyair yang tak sanggup mencatat semesta
lewat matanya yang buta, hanya bisa mencatat murka
di atas kata-kata,
yang menyalakan api tubuhnya
di dasar neraka.
Ia mengambil senapan,
dan menembak kepala
burung kenari
tepat di matanya.“
Para perampok menuliskan kisahnya di tembok.
Para pencuri,
pembunuh,
penipu, pendusta,
dan pemerkosa:
menjadikannya
legenda.
Mereka gentar pada kata-kata lembut
para pendusta. Mereka takut pada mata cantik
yang membuat dunia binasa.
Mereka menuliskannya
di catatan harian,
pada tembok dingin
jeruji penjara.
“Penyair yang menembak burung
dengan kata-kata, adalah pembunuh dingin
yang menggetarkan Tuhan
di ketinggian.”
(Jakarta, 2015- 2016)
Sumber: Koran Tempo, 20-21 Agustus 2016