Putu Oka Sukanta (l. 1939)
Dikaki-kaki Tangkubanprahu
I.
malam disambut suara-suara kecapi
matahari dibernasi suara-suara aksi.
kelincahan jari ditali-tali kecapi
melepas beban memberat dihati
duka kepahitan dilantunkan tembang-tembang
manis kemenangan dijalan persahabatan
lepas diskusi
menanti pagi siapkan aksi
adalah simfoni yang tidak bisa mati
dihati manusia yang berlawanan
yang yakin akan kemenangan
merekalah kaum tani
dikakikaki tangkubanprahu
(kawan suhara matanya buta
(hatinya terus bicara)
II
sampai pada berita pagi
datang dari tiongkok dan woschod
menukik-nukik puteri bumi
simfoni sosialis, kemenangan
afrika, asia, latin amerika
penegak perdamaian, tapi yang berlawanan
buat kemerdekaan
seperti juga sampai kekuasaan dinasti
diakhiri
angin kembangpun melayang kejurang
lembah-lembah berpetak hijaunya ladang
tomat, kentang, wortel atau sawi
dipagarwangi kaum tani mengakhiri
tidak akan kuucapkan kepadamu
adikku:
– aku cinta kepadamu
sebab pulang kebandung dari cianjur
biru membiru tangkubanprahu
haru-terharu hatiku sekujur
buruh dan tani disalahkan selalu
kepadanyalah adikku
aku sampaikan cintaku
tidak kuucapkan sebab engkaupun mengerti
hari ini kita bersama dalam revolusi
tidak kuucapkan engkapun tahu
tidakkan hilang dalam berlalu
seperti api yang menyala didesa-desa
menghapuskan kekolotan dan penghisapan
matahari dan kaum tani – mana bisa mati
kabut dingin mengendap dikaca jendela
tapi wajah legam dipinggang lembah dan bukit
berlawanan, pangkal kehidupan atau kematian
kendati malam akan meregam
sebab darul islam sudah dikalahkan
– merekalah kaum tani
dilereng-lereng tangkubanprahu
malam disambut suara-suara kecapi
pagi dibernasi suara-suara aksi
dimanapun selama mereka kaum tani
melawan setan desa tidakkan berhenti
Bandung, 25 Oktober 64
Sumber: Gugur Merah (Merakesumba, Jogjakarta, 2008)