Puisi: Empat Perkabungan Bersinggungan – Bresman Marpaung

Bresman Marpaung

1
apa yang kau dengar bila serigala dan luwak
berbisik di punggung bulan
selain berbincang jubah paling cemar
memintal dari mangsanya
samar memerangkap mangsa lain

pernahkah mereka terdengar jujur
bertukar rahasia memalukan
tentang bulu ayam yang tak lagi sempurna
membalut muslihat
atau bulu domba kuning menangkap
tabiat serigala?

atau mereka berbagi pengakuan tentang
darah anak domba di celah taring
merintih tak jemu memanggil inang
di setiap tubuh terhempas
hingga kekejaman mereka tersungkur
tertikam belas kasihan
membiarkan lapar jemu lalu hilang kesadaran
bulan phobia maksud bulan
bersemu tiap memancing gairah
sampai sujud melolong-lolong pengampunan?

Pertemuan luwak dan rubah ini tak biasanya
di saat bulan pucat hilang darah
telah pula berlalu gairah jam-jam pengintaian
ayam paling jantan telah subuh terjaga
memanggil-manggil persekutuan waktu

mufakat apa yang tak perlu rahasia?
astaga, mereka bertukaran kepala!

 

2
domba yang tergoda
tak bercita-cita layu di penjagalan
tapi kekal harus jatuh kepada hiruk pikuk
langit penawar
terbeli nasibnya dari pecah ketuban
sampai diiris hak veto
hanya ditimbang rasa lapar,
jadilah kami tumbang bakaran
yang tak pernah dikorban sungguh-sungguh
domba putih pembasuh masa lalu

domba sesat kami. memang
tapi tak sekali pernah mengingkar suratan
hanya termangu dalam jurang bingung
memanggil-manggilmu sedalam khusuk perih
hai gembala dari lembah kekinian
pabila membawa tongkat keberanian
menjulurkan cahaya ke ujung muasal sesalku

domba dan gembala biasanya
beriringan ke hamparan nasib berbatu
menghalau rasa lapar mengintai
sampai ke ujung senja
berhitung sama-sama dengan segenap apa
melumpuhkan rasa takut
jangan kawanan tercecer hingga sedarah

kalaupun domba mengerangkan puting
disesah masa nifas
jeritnya masih mengalirkan susu suci darah paskah
bagi kawanan gembala
hanya letih menguras air tubuhnya
terhalau serigala ke gunung sunyi

pertemuan yang tak biasa gembala dan domba
saling memunggung menilik matahari
jangan kemana menukik semangat

 

3
Gembala dan tuan yang sepakat
menyeret domba ke kejauhan
berbisik hal rahasia peruntungan nasib
sekawanan seharkat bulu dan daging
hingga pandangannya jauh
semua mesti tampak lumrah.
kebiasaan menenangkan domba
jika takdir saatnya menungkup

sesekali gembala dan tuan memotong
tatap dengan senyum lambai
dengan mantra penenung mata domba
bila terlanjur curiga
sampai sepenuhnya lupa petaka menghadang
bila tuan datang
menghalau gembala pada sabtu dan minggu

bermulalah awal cerita kepunahan
tetua domba kata tuan mesti ikut berlibur ke kota
tapi tak pernah pulang-pulang.
hanya gembala yang kembali dengan kubis dan bungkil
mengasup lenguh kawanan sebukit kenyang
lupa menduga-duga

seperti besok rerumputan menyibukkan mereka
sambil gembala bermain tongkat memedi

 

4
pada jurang paling malam
dombalah menubruk cahaya
dari mata bingung membandingkan
beberapa perkawanan warna
ada hijau selain rerumputan
bungkil dan kubis memantulkan sedap
jalangnya baru akil akhirnya
tergoda mengecap

seturut lapar mendidihkan berahi
melajulah hasrat mematah tongkat gembala
yang acap melayar pantangan ke atas pikirannya.
seketika seikat persekutuan tertebas dari amanat
rindu dendam dilarikan menungkap cahaya memikat
melupakan naluri kuat: domba mesti berserikat

Hup! domba itu tertangkup di palung cahaya
sebuah rupa tiba-tiba terlihat sesungguhnya.
memagut sepenuh gairah semua mata sadar
tak sempat sesal menyusup
membawa kabar pada darah terkucur
tangis menempel di sisa tubuh
terlunta sia-sia ke rumpun bebatuan

gembala hanya terbangun meraung-raung
jika jumlah semakin ganjil
dengan tongkat patah bingung memetakan arah
tak terdengarnya dimana sesal memanggil-manggil

 

Sumber: Koran Tempo, 2 April 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *