Puisi: Kampung Kolam – Sartika Sari

Sartika Sari

pagi buta, kakek berjalan memikul cangkul,
racun tikus dan beberapa karung goni di
selipan ketiak kanan. angin menegurnya berulang-ulang,
menepuk pipi dan kantung matanya, tapi kakek
tak bersuara. lolongan anjing di simpang jalan
menusuk langit, membelah jalan, mengetuk
jantungnya. tapi kakek tak bersuara. subuh baru
saja sampai. matahari masih dalam perjalanan,
kakek terus menghadap ke depan, mengisi katarak
di matanya dengan kegelapan lagi. kerak kakinya
mengundang para cacing dan celurut. mengikuti
kakek berjalan menuju ladang di ujung jalan.
petani dan warga kampung yang dulu dipenggal
kepala, dibenamkan ke kolam atau yang mati
diam-diam tidak datang pagi ini. mungkin sedang sibuk
menyiapkan strategi pembalasan, atau penitipan dendam
pada anak-anak, tapi bukan pada kakek. karena ia
masih terus meraba-raba jalan, memikul cangkul,
mencium udara, dan kakek rupanya tidak sendirian.
seorang perempuan duduk di seperempat jalan, kepalanya
dijinjing, bajunya merah dan tubuhnya basah. lalu
mereka tampak serius menyusun sesuatu.

Medan, 2014

Sumber: Koran Tempo, 22 Februari 2015.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *