Puisi: Di Gua Karang – Dea Anugrah

Dea Anugrah

Lelaki renta dalam jubah mori itu
belum ingin percaya pada penglihatannya.
“Sesam, sesam,” ia bergumam
dengan bibir kering, dalam nada jeri,
entah untuk kali yang keberapa.

Mata itu mata yang sedih
dan ada yang melintas di sana:
“Juga keledaiku?”
(dua hari lalu ia bertanya,
melempar protes ke arah wajah
Arab Hitam yang menawarkan peta kepadanya).

“Celakalah kedua tangan para peragu!”
Si Arab menjerkah.
Maka orang tua ceking itu pun kembali
menghitung segala yang ia miliki—
yang akan tidak ia miliki:
seekor keledai putih, sebuah pelana,
dan sebilah belati retak
untuk mengguratkan apa saja
yang masih dikenangnya
pada pokok-pokok mahogani.

Sesam, sesam.
Seperti ada jurang yang tiba-tiba terbentang
antara kedua tungkainya yang lunglai
dengan gua karang di hadapannya.
Mungkin ia putus asa. Atau sekadar
merasa heran kepada hidup
yang senantiasa mengajak berkelakar.

Ia menunduk. Hatinya sakit
dan ludah yang menggumpal
dalam mulutnya terasa pahit.
Seorang orang asing telah memiliki
segala yang pernah kumiliki,
mungkin itu yang ia pikirkan. Mungkin bukan.

Atau mungkin ia justru takjub
dan mulai percaya pada keajaiban kata-kata:
“Di ujung rute ini, Saudara, akan kau temui
sebenar-benarnya kebahagiaan.”
Demikian Arab Hitam itu meyakinkannya.
Dan ia tahu, tak pernah ada muslihat
di antara mereka.

“Sesam, sesam,” ucap
lelaki tua dalam jubah mori itu,
sekali lagi, sambil membalik badannya
ke arah laut, ke arah maut,
di mana semestinya
tiap-tiap kegilaan dipulangkan.

 

Sumber: Koran Tempo, 23 Juni 2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *