Puisi: Aku Kirim Juga Akhirnya Puisi Ini – Zelfeni Wimra

Zelfeni Wimra

aku kirim puisi ini kepada debu yang berhamburan
di sela jemari pengasah batu akik
sebagian terbang ke ketiadaan
sebagian menyuruk ke ruang paling rentan
dan orang-orang yang gemar menghias jari percaya,
beginilah cara memaknai luka
yang mencabik tubuh
menguliti diri

aku kirim puisi ini kepada tunas baru sebatang jeruk
daun pendahulu mereka telah habis
disantap ulat yang berencana menjadi kupu-kupu
setelah hujan berkepanjangan
serat kepompong itu membusuk,
ia kini terkulai di cabang berduri

aku kirim puisi ini kepada adik perempuan kembaran
setelah kakaknya kawin dan tidur di kamar pengantin,
ia menyendiri di bilik sunyi, tidur miring ke sisi jendela
menerawang cakrawala di seberang halaman
sejak lahir, apa saja selalu mereka bagi, tapi tidak untuk kali ini

aku kirim puisi ini kepada roda cadangan
yang melekat di pantat mobil jenazah,
ikut serta mengantarkan mayat menuju lahat
di antara para pelayat
dirinya memang tidak sedang berbuat apa-apa
namun tetap sedia menjadi pengganti yang setia

aku kirim puisi ini kepada tungku berabu dingin
sejak penghuni rumah satu persatu menunaikan usia
tidak ada lagi kayu bakar yang rela dilalap api
penghangat ruang dan pematang masakan setiap hari

aku kirim puisi ini kepada sebilah lidah
meskipun tuannya seorang diplomat kelahiran sumatera
tetapi dirinya pasih menggetarkan aneka bahasa eropa
sebab kini memang demikian kehendak bahasa

aku kirim puisi ini kepada pisau dapur seorang janda
sejak laki majikan tiada, dirinya sudah jarang diasah
bawang dan kentang sering mengeluhkan ketumpulannya
sari tubuh mereka akan redam jika disayat dengan mata yang
tidak tajam
inilah kini yang mereka ratapi siang-malam

aku kirim puisi ini kepada titik dan garis frekuensi
yang telah mewarnai layar televisi dengan gambar penghibur lara
lengkap dengan aneka tipu daya
sehingga aku bisa menonton sepak bola
dan lebih sering memikirkan brasilia ketimbang jakarta

aku kirim puisi ini kepada tanda gambar calon presiden
yang robek dikunyah angin dan hujan
setelah pemilu lama berlalu
musim jua yang menumbuhkan lupa
justru ketika ladang-ladang menampakkan buahnya

aku kirim puisi ini kepada bunga kalikanji
yang melekat di gaun perempuan sawah
betapa ia ingin ikut dipungut seperti padi
namun dirinya tetap saja rumput jarum yang sepi

aku kirim puisi ini kepada saudagar koran
aku percaya, pasti ada harganya
bisa dijual pembayar pulsa demi pulsa
dan semoga ia pun bisa duduk bersisian
dengan berita tentang derita

2014

Sumber: Koran Tempo, 6 Juli 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *