Ahmad Syubbanuddin Alwy (1962-2015)
Kenangan Seperempat Abad Silam
–jalan-jalan masih berdarah, luka pohonan
berkabut dalam risik gelisah, riuh pertempuran
menghambur hancur ke pelukanku semalaman, dan…
Aku terlunta memandang pematang tubuhku penuh ilalang
halilintar menggelepar, bayang-bayang kematian terbentang
juntai bunga api, bilur fajar pagi, dan kilau cahaya galaksi
merayakan kesepian panjang. Dan seperti tak pernah mengenalmu
senantiasa, kuciptakan kembali busur kiblat untuk mengungsi
dan puing-puing, juga retakan waktu yang berangkat tua
menyentuh ulu hatiku dengan sisa kenangan, seperempat abad silam:
alunan dzikir, samudera takbir, dan gemerincing gerimis muram
berpendaran dari sayatan hari-hariku menjadi rintihan puisi
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan masa kanak-kanak itu
melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari, doa-doa para sufi
beterbangan meniti tangga-tangga dan pintu langit ampunanmu
rasi bintang-bintang menyisih dari pusaran lambung matahari
deru angin berhamburan membelah pecah imanku yang menyangga
tapi seperti Ibrahim, aku masih menemukan isyarat dan getar rahasia
wajah pualam rembulan, hamparan laut kelam, kemudian kesunyian
di kejauhan, seribu purnama menyepuh berhelai-helai airmataku
yang tergerai dan berdarah, mencium sajadah dan hulu tanah
menara-menara masjid menjulang, ayat-ayat suci bermekaran
di tengah kolam terata yang bertasbih perih dalam rongga dadaku
seperti orang alim, kuterima gulungan lumpur dan gosong rawa-rawa
juga semenanjung karang, perahu para perusuh yang datang dari jauh
melewati metabolisme darah untuk menyalahkan serat api yang angkuh
kelak melumuri separoh kota menjadi kilang minyak, kuseduh dengan gembira
jeritan caci-maki, lengking gelak-tawa dan rangkaian panjang selongsong senjata
mengapakah perkampungan miskin yang papa kauhanguskan juga menjadi arang
dan menyekapku di tengah kepulauan negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
–kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
pesisir bendungan denan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
semua berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan…
Cirebon, 1999-2000
Sumber: Fantasia Cirebon, (MeSTi, Cirebon, 2017)