Puisi: Kesaksian Seorang Murid – Mario F Lawi

Mario F Lawi

 Jubahnya merah terkebas kemarau sebelum terkulai dalam tangan seorang perempuan. Enggan ia menengadah ketika berjalan sebab hidup yang menancapkan diri tak pernah bisa dipanggul. Tingkap yang terbuka menurunkan orang lumpuh di atas sepasang kakinya yang fasih menapak dan hampir tak lagi ia gunakan. Tilam yang tergelar telah sempurna menjadi alas bagi pinggan dan pialanya. Ia memang masih menapak dalam bentuk ketika si lumpuh mulai berjalan dan para tahir sekejap melupakannya. Langit di atas menjadi atap yang terpuji ketika menyembulkan tiang-tiang awan. Laut di bawah menjadi kesedihan yang lengkap ketika menyembunyikan duka nestapa Yunus. Mulailah ia mengambang di tengah-tengah dengan kaki yang terkepung dua belas bintang dan mahkota matahari yang lembut dan keemasan. Para nelayan yang sebentar lagi menebar jala sekejap tersadar bahwa ia tak benar-benar menapak ketika melaju di atas air sambil menjaga agar batu karang yang turut tidak tenggelam.

Ia menumbuhkan rumput bagi sisi kambing yang gersang, mengusap tanduk di kepala kemarau yang lembut dan mengisi penuh anggur ke dalam tempayan tuan pesta yang kosong. Ia menyisihkan air dari tempayan pembasuhan untuk menenggelamkan kota ketika para pembangkang mencoba mengacungkan pedang. Buluh yang terkulai memang tidak akan dipatahkan sebab ia menciptakan tanpa menyentuh dan melenyapkan hanya dengan memejam. Rohnya ia tinggalkan dalam tubuh pelacur terakhir yang disentuhnya sebelum ia memilih meninggikan diri untuk menegaskan bahwa kenisah tiga puluh tiga tahun yang rubuh memang dapat dibangun kembali oleh tukang bangunan yang cermat dan batu penjuru yang tepat hanya dalam tiga hari.

(Naimata, 2013)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *