Violetta Simatupang
Sendiri-sendiri kami datang ke lapak. Berjalan
perlahan-lahan. Mengendap-ngendap bak
penyergap. Dalam kelelahan nan bersitumbuh
bersama keputusasaan, terjebak.
Tonga duduk di depan, wajah kotaknya tampan.
Dari caranya merogoh saku celana, mengeluarkan
kotak rokok kretek, menghisapnya dalam-dalam
seakan-akan menghirup udara segar yang acap
dilakukan pramuka.
Aku tiba satu menit setelah Tonga. Mencari kursi
sendiri. Menemukan satu sudut redup sayup lalu
duduk menunduk.
Pelayan membawakanku segelas kopi Sidikalang
tanpa kemasan. Asli tangan pertama petani kopi
Sidikalang. Melalui temaram petromaks kulirik
meja Tonga. Segelas kopi Sidikalang di hadapannya
menantang. Tanpa kemasan. Asli tangan pertama
petani kopi Sidikalang.
(Permasalahannya semua tahu; kemasan kopi
olahan kualitas ngawur produsen kopi bubuk
Sumut acap berlabel asli Sidikalang plus tiga
bintang. Markombur)
Tonga, lelaki bagas yang sampai kini kucintai
memberi perintah itu ini. Tetamu
riuh. Aku tahu titahtitah itu menghentikannya dari
merasa terlampau tua. Aku tahu titahtitah itu
menarik banyak wanita cantik. Batak, Karo,
Tionghoa, Melayu, yang bagak yang ayu, memberi
ia mata serta cinta. Dan sebelum aku bahkan sadar,
Tonga mengujar selamat tinggal, bergamat pergi
bersama wanita Batak bermata coklat.
Aku ditinggalkannya bergelup, seperti berkali-kali
lainnya dalam hidup.
Merasa sesak dan kesepian, rusak dalam nyanyian,
tengoklah Tonga sai dinunutan, sabar menghitung
lembar-lembar pendapatan. Dia santun seperti
malaikat dan kami pernah berpelukan erat
berbincang-bincang salangsalang sepanjang malam
dikawani ombusombus, tipatipa. Berselangsilang
tiga gelas kopi Sidikalang.
Jam 12 malam. Lapak Tonga selesai. Ia
memandangku tajam. Menyuruhku pulang sebab
memang tersisa akulah tamunya malam itu. Karat.
(Suatu hari dulu
kami datang atas api bon
Dua siluet salangsalang.
Tiga demon bersulang segelas kopi asli Sidikalang).
Sidikalang
2013
Sumber: Melaya (Alumni Bandung; 2017)