Puisi: Kota Kita – Warih Wisatsana (l. 1965)

Warih Wisatsana (l. 1965)
Kota Kita

-Helmi Haska –

Bagaimana akan kita tinggalkan kota ini
Setiap orang menunjukkan arah yang salah

Seharian menyeberangi jembatan layang
dirundung bayang gedung menjulang
Seharian gamang bertanya
                      sesat di ujung jalan yang sama
                      simpang bimbang yang sama
Dalam beragam pilihan yang selalu salah pilih

Bertanya pada perempuan-perempuan di tikungan
ini utara atau tenggara, minggu ataukah sabtu?
Risau dan ragu, sungguhkah ini bukan kota kita?

Bagaimana akan kita tinggalkan tanya ini
Setiap arah menunjukkan orang yang salah

Selalu bertemu lelaki tua
yang bermain catur sendirian
Perempuan muda melankolia
yang mengerling hampa

Atau seorang ibu yang tak henti menggerutu
berkeliling taman dari petang hingga malam
sambil menuntun anjing kecilnya yang lucu

Berkisah ia tentang tuhan yang ingkar janji
tentang kekasihnya yang tak kunjung kembali
Hilang entah di belahan kota yang mana
jadi polisi atau mungkin sekalian pencuri

Entah bagaimana mulanya, kita bertemu lagi
pesulap jalanan. Ia mengulurkan mawar
perlahan mekar. Tiba-tiba menjelma burung dara
Seketika pula lenyap menjadi sehelai sapu tangan

Ia menawariku pil penenang
Membujukmu meninggalkanku
pergi ke rumah sakit
mengunjungi sahabatnya
                      terbaring di ranjang bertahun
                      mengulur umur sendirian

Begitulah berkali ia meyakinkanku
bahwa dirimu si penyembuh yang ditunggu
kuasa mendengar detak waktu di dalam batu

Bahwa setiap orang serupa sebuah kota
di dalam dirinya tersembunyi diri yang lain
berulang tenggelam dalam kubangan malam
                      gang demi gang
                                 lorong demi lorong
Sesuram belitan jalan tikus ke masa silam
Atau seriang tupai melayang
                     entah ke masa depan
mungkin pula semata lamunan kenangan
pohon sebatangkara yang menua terlupa

Lalu terbawa rasa hampa
menjauh dari lengking ambulans
                      dari pemadam kebakaran
Menjelang petang kita tergoda
menyentuhkan tangan
                      ke lampu-lampu taman

Membayangkan bumi
tak lebih dari seekor kunang-kunang
melayang tak berkawan di jagat raya
Sungguhkah tercipta
dari setetes cahaya bintang mati

Sesudah itu bagai buah pasrah berjatuhan
letih kita tertidur di rumputan
                      dengan mata layu terbuka

Terbangun dini hari oleh tetes hujan
sayup kereta bergegas di kejauhan
risau dan ragu, sungguhkah ini kota kita

Terbangun tanpa ingatan tanpa kenangan
Dirundung tanya yang sama
                      simpang bimbang yang sama
Dalam beragam pilihan yang selalu salah pilih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.