Puisi: Laut – Sanento Yuliman (1941-1992)

Sanento Yuliman (1941-1992)
Laut

1.

Di tepi laut luas kita berdiri, dan sambil menunjuk karang-karang dan bangkai kapal
Engkau mengeluh seperti ombak, serta pelahan berkata:
Laut, seperti beribu tahun yang silam, masih saja
Menjadi lambang rahasia dan malapetaka.
Sesaat kita hening, laut menderu di telinga kita. Lalu engkau berkata, perhatikan
Bunyinya yang riuh, seakan dua seteru
Pukul-memukul, hantam-menghantam, dalam pertarungan abadi
Laut, masih saja
Menjaddi lambang kegelapan jiwa kita.

Kemudian kita berjalan menyusuri pantai, ketika matahari
Tenggelam seperti kapal terbakar
Meninggalkan pada asap dan mega
Ombak dan kegaduhan cuaca.

Setelah keguncangan di mana-mana, engkau berkata
Setelah bentrok dengan kawan sendiri, berebut kekuasaan dan kemudi
Setelah perkelahian di geladak, dan di pantai, dan setelah
Badan kita sakit dan lelah
Akan hapuskan jejak kita di masa lampau, dan kita berjalan
Dengan sepatu dan semangat baru?
Engkau bertanya kepada laut, ketika sekawanan camar di antara mega
Melayang di lapangan warna yang semakin redup dan tua.

Warna kuning yang memekikkan jeritan, pelahan berubah
Jadi keluhan berat merah-padam
Ungu
Sudah itu kelabu.
Dan kita berjalan di antara deburan ombak, menyusur
Pantai dan gang-gang
Kita turun ke dalam gelap, dan kita mengendap-endap
Berjalan di antara gelap dan gelap.

 

2.

Cahaya yang berayun di pucuk-pucuk cemara, cahaya
Yang bermain di buih dan bunga
Adalah juga cahaya
Yang bersemayam di langit.
Dan mengikuti cahaya di langit, semua cahaya di bumi
Pergi meninggalkan kita, dan meninggalkan di gang-gang kotor, di jalan-jalan rusak

Jejak mereka yang gelap.
Setelah perkelahian di kapal, setelah kehebohan ddan pertengkaran
Ke manakah hendak kita cari tempat istirahat
Mengasoh dari kutuk-serapah dan dusta, dari hasutan dan fitnah
Untuk sekedar membiarkan kuku dan rambut tumbuh dengan damai
Dan luka-luka menyembuhkan dirinya?
Burung-burung mempunyai sarang
Serigala mempunya guha, tapi anak manusia
Tak punya tempat untuk membaringkan hatinya.
Di bawah wajah yang tenang, atau pelupuk mata yang pejam
Di bawah selimut yang hangat, atau usapan dingin malam
Semua nafsu dan dendam, semua pertarungan dan percekcokan
Bergalau seperti kaleng-kaleng kosong, botol-botol minyak, mengalun dan berderak
Semua kericuhan korupsi, perkosaan, malapetaka, dan kemiskinan
Semua letusan meriam dan bedil, bahkan semua kecemasan kecil
Menyatu di sini menjadi gelombang besar, menjadi kelegapan bersayap
Yang menghisap dan memukul kita.
Kita jatuh
Di antara gelap dan gelap.

Demikianlah bila cahaya pergi dari pantai dan lorong-lorong
Manusia dan debu, berjatuhan ke dalam gelap.
Kita mendengar
Gelap bersabung dengan gelap.

 

3.

Di waktu malam laut tidaklah tidur, dan menghempaskan ombaknya
Pada karang dan pantai, berdentam dan berderai.
Pukulannya tidak sekeras di siang hari, namun dalam kesunyian malam
Kita mendengar bunyinya bergulung, kian gemuruh dan mengembang
Dan kita merasakan sekitar kita, merasakan jalan-jalan dan rumah-rumah
Tumbuh menjadi laut, dengan beribu suara dan gelombang.

Demikian jiwa kita
Adalah laut yang tak pernah tidur
Dan antara laut di dalam diri kita
Dan laut di sekitar kita, tak ada karang pemisah ataupun pantai
Keduanya saling menembus, saling merangkum, keduanya membentang
Di atas dasar tak terukur, gelap bersusun dengan gelap.

Dan malam ini tatkala kita jatuh
Makin jauh ke dalam gelap, kebagian dalam dari yang terdalam
Kita mendengar
Seperti pukulan berjuta sayap, gelepur yang kacau dan hingar
Peperangan terpendam, perbenturan berbagai arus tersembunyi
Permusuhan di dasar, dalam hakekat, dalam gelap
Yang menyeret dalam persabungan, hantam-menghantam
Pasir dan timbunan sampah, lumpur dan kerang, ganggang dan ikan
Bangkai kapal, pedang dan meriam berlumut
Perkakas yang sudah lama tenggelam, serta tulang-tulang mereka yang mati di laut
Tulang-tulang yang tidak lagi berbentuk, namun masih dialiri dendam.
Dan semuanya bergulung bertumbukan, hantam-menghantam.

O apakah makna hidup kita, ataukau hanya taufan
Yang bertiup di dasar jiwa, lahir dari kegemparan syaraf
Yang mengibaskan beribu kotoran dan luka?
Kita tidak tahu, kita tidak tahu
Kita telah menamam kebencian untuk memetik kasih sayang, dan hanya menyemaikan
Benih kebencian yang lain.

Kita hanya tahu
Suara yang berseru di antara tulang-tulang yang bersabung, di antara pedang dan meriam
Suara yang mengembara di dasar laut, di dalam gelap, menyerukan
engkau adalah garam dunia. Jika garam menjadi tawar
Dengan apakah dimasinkan pula? Engkau
Adalah terang dunia. Sebuah negeri di atas bukit
Mustahil tersembunyi.
Bukankah orang menyalakan pelita
Dan memasangnya di tempat tinggi?

Di tengah deru dan kemelut
Suara itu tidak lebih keras dari denyut jantung kita.
Selebihnya kita mendengar
Gelap bersabung dengan gelap, jiwa kita.

4.

Siapakah, dengan jari-jari selembut bisikan
Mengorakkan bunga demi bunga, kuncup demi kuncup, dan perlahan
Mengangkat kita dari bawah dunia, untuk melihat cahaya pertama
Dan mendengar kokok ayam, berulangkali kita
Dari atas bukit?

Pelan seperti kasih-sayang tumbuh di hati kanak-kanak, pelan
seperti mengoraknya kelopak-kelopak bunga
Semua indera kita membuka, dan kita menjumpai diri kita
Dalam temaram dan dingin subuh
Kita mendengar
Ombak memecah dalam gelap.
Buih di atas pasir, bunyinya yang sejuk dan gemerlap
Bertaburan di hati kita
Kemudian kita mendengar
Azan yang panjang dan lantang, menyerukan kebesaran Tuhan
Azan yang berjalan dalam kabut, menantang kegelapan.
Gemanya akan senantiasa tinggal
Tersimpan dalam lokan dan daun, dalam kelopak-kelopak bunga.

Berdoalah, saudaraku. Adakah sesuatu
Yang telah mengganggu jiwamu?
Carilah, dan engkau akan mendapat.
Pintalah, dan kepadamu akan diberikan.
Ketuklah pintu, dan bagimu pintu akan dibukakan

Dan pada jam enam pagi kita bangkit dari tempat tidur, dan takjub
Mendengar seekor burung menyanyi
Menyanyi di tengah keluhan ombak, menyanyi
Di tengah pukulan kelam dan dingin
Dan suaranya mengitari rumah, dan berseru, Bukalah
Semua pintu dan jendela, bukalah
Bagi semua anugerah dan bencana
Bukalah lengan-lenganmu dan tegak dinihari
Sebagai karang abadi.
Dan kita melihat pintu
Membuka ke kakilangit, dan berjuta cahaya
Bagai kilatan mata pedang, menebas kegelapan.
Dan kita mendengar dari balik pintu, dari kakilangit
Besi beradu besi, baja beradu baja, berderum dan berderak
Mesin-mesin, palu-palu, gergaji, deru pabrik dan kapal
Dan pendek kata, kita menghadapi pekerjaan besar.
Dan kita mendengar burung itu menyanyi, Megahlah
Hiruplah udara segar dan menyanyi
Megahlah di tengah ombak dan di tengah padang
Pagihari.

Dan ham setengah tujuh kita berangkat ke pekerjaan
Bergegas sepanjang jalan, diburu waktu dan kewajiban
Ditiup angin pagi yang dingin, menggigil gemetaran.
Dan kita menyalakan rokok, untuk menghangatkan percakapan
Untuk mengusir dingin dan kantuk, dan mengusir sisa perasaan
Dari semua mimpi buruk.

Setelah keguncangan di mana-mana, engkau berkata
Setelah kericuhan korupsi, perkosaan, melapetaka, dan kemiskinan
Akan sanggupkah kita melawan baja, dan besi, laut dan bumi
Tangan-tangan kita menjadi subur, sibuk mencipta dan memberi?
Engkau bertanya kepada kertas-kertas di trotoar
Yang terbangun dikejutkan angin, melompat-lompat dan menghambur
Tiba di sudut yang hangat, dan kembali tertidur.
Kita tidak tahu, kita tidak tahu, engkau berkata
Kita terus melingkar dan melingkar dan tidak tahu
Di manakah pangkal penderitaan dan di manakah
ujungnya.
Kita hanya tahu setiap kali menghadapi pekerjaan
Kita merasa sayap yang berat memburu dan menangkap tengkuk kita
Dan kita selalu hendak tenggelam, selalu hendak tenggelam
Terhisap kembali ke dalam istirahat, ke dalam kelupaan
Penuh lena dan tanpa tanggung jawab, seperti janin anak dalam kandungan.

Namum kita selalu mendengar dalam kenangan
Besi beradu besi, baja beradu baja, berderum dan berderak…

Dan di tengah hari laut mendentum dan memukul-mukul
Dan burung itu bernyanyi, Megahlah

Sebagai karang abadi
Di tengah ombak dan di tengah padang
Tengahhari.

Dan suara lain adalah suara
Gelap bersabung dengan gelap, di tempat-tempat tersembunyi.

 

Sumber: Horison No. 11; Tahun II/November 1967.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *