Puisi: Lonceng – Trisno Sumardjo (1916-1969)

Trisno Sumardjo (1916-1969)
Lonceng

Detak celaka melangkah detik demi detik
Dan di wajah lonceng nasibku terbetik:
      Titik mula sama dengan titik akhir,
Maju, namun melingkar dan bolak-balik

Wajahnya bulat dibentuk Waktu
Yang tak berujung, waktu berlalu
      Siang-malam bunyinya tak henti-henti
“Tik-tok”, satu-satu dan beribu-ribu

“Kaukah yang mengetuk detik di dadaku,
Atau hatiku pindah dalam detakmu?
      Terhambur daya-bunyinya hingga lebur:
“Tik-tok”, seribu kali beribu-ribu?”

Ketahuilah aku tak hanya bunyi mati!
Biar kucolong bunyinya, namun hati
      Punya hayat, punya haru baru yang bermutu
Begitu tegurku, tapi dia tak berhenti

Irama jahanamnya memancang paku
Dengan pukulan palu ke ulu kalbu,
      Mengutuk hidupku, melecut kecutku:
“Tik-tok”, satu-satu dan beribu-ribu

Tak hanya satu, tapi beribu kali
Kuputar pegasnya sebelum berhenti
      Dan hiduplah benda mati tak berhenti
Untuk menjajah hidupku, sampai mati

Tapi apa dia tentang kesayangan,
Hati insan dan harapan dan kenangan?
      Tapi dia pembawa dan wakil waktu,
Dan dalam waktu aku hanya bayangan!

Namun kuputar dia dengan setia,
Seolah tanpa dia hidupku sia-sia
      Dan jarum lonceng memberiku petunjuk
Tentang umur pendek manusia

Jarum menyayat darah dan daging,
Detak-detiknya mendengking-dengking;
      Sampai ke alam kekal ia mencengkam
Nyawa yang gugur dan terpelanting

Itulah kudengar tiap malam sepi,
Menanti amanat mahasakti
Jari telunjuk; geraknya tanpa henti:
      “Tik-tok!”, bunyi yang satu sejuta kali

September 1960

Sumber: Horison, No. 6, Th. III, Juni 1969

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *