Mustofa W Hasyim
Batu merah menata benteng, menara dan gapura.
Siapa yang menyusuri lorong, berkelok dan berhenti
di depan nisan? Air kolam masih menetes di dahi,
jejak rumput sampai udara. Gumam-gumam jauh,
dan ucapan, lafal doa yang dalam. Menembus diam,
sendiri dan bersama. Bersimpuh ke arah keabadian.
Yang terbaring di balik barisan batu, mungkin
menyapa, mungkin meneteskan airmata. Kebodohan
dan kekonyolan perjalanan masih dibawa sampai
sini. Bagi yang kenyang nasi jangkrik bisa berbagi
kepada langit dan lembah pantai. Tapi ini adalah
pusaran kota. Pedagang tidak mau rugi dan penziarah
meniti kerumitan masa silam dan hari ini. Pada
seekor kerbau yang dapat mengurai zaman dan
mengutuhkan pesan, “Berjagalah terhadap badai
yang berasal dari satu angin. Bukalah setiap gerbang
dan lepaskan daun pintu karena jiwamu akan
terbebaskan kalau masih ada rindu.” Kemarau
adalah persoalan, cinta akan mengatasi jarak mata
dan jiwa. Bersyukurlah, masih ada sunyi. Jejak
menegas atau mengabur sama saja. Manusia. Terus
berdatangan dan pergi. Bunga harum, dan sampah
menjadi permadani. Para penginjak luka mencoba
merasakan manisnya darah tetapi yang ketemu
hanya asinnya siksa. Lupakan. Mulailah mencari.
Makna cemeti dan keris purba, mirip berita yang
dilipat oleh malaikat di persembunyian semesta.
Kudus, 1994
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2012