Fariq Alfaruqi
“Ini batu mirah delima dari sebuah pulau di Afrika
Madagaskar namanya. Diseberangkan berbingkah-bingkah
ke daratan Eropa sana. Kau tahu, kabarnya ia
bertengger pada pucuk mahkota raja
berjejer di pangkal pedang para kesatria.
Kalau berdesir hatimu dibikinnya
ikat ia dengan emas suasa.”
Engku, aku ke pasar raya tidak mencari cindera mata
untuk teman yang datang dari pulau manca.
Orang kata, di sini ada batu mustika
yang mampu membikin pemakai tahan peluru,
pecahan kaca, tinggam segala tuba.
Batu yang diwariskan dari ninik sampai ke cucu
berapa pun maharnya aku tawar sampai bertemu.
Sekalian itu batu bakal diasapi dengan kemenyan
bakal disisipi dengan sehelai rambut perawan.
“Untuk yang muda dan perjaka
betapa pasnya anggur ungu sayat prisma di jari manis itu
permata yang dipakai pangeran-pangeran dari Britania
di siang hari birunya teduh membikin jantung Pajatu lumpuh
di malam hari cahayanya membayang seperti anggrek ditimpa purnama.
Jika berkecipak air liurmu menatapnya
antar ia ke pandai perak paling mahir di ini kota.”
Tapi yang aku mau, engku, batu yang tersisip di antara
batu-batu yang diangkut truk pasir untuk pondasi rumahmu
yang hitam kadam tak tembus cahaya
punya retakan dari kulit sampai intinya
akan aku asah sebesar biji sempoa cina
aku ikat dengan leburan besi timah tembaga.
Di kuburan leluhurku, aku tanam ia berminggu-minggu
direndam tujuh kali purnama bersama limpa, hati, dan empedu.
“Kau gila, Cucu, darahmu menggelegak sampai ke puncak kepala
pakai zamrud hijau berkilau kebanggaan bangsawan Rusia
untuk meredam panas yang memeram di dada.
Ini batu, berapa ia punya harga, bayar saja seadanya.”
Kandangpati, 2014
Sumber: Koran Tempo, 8 Juni 2014