Puisi: Nasib Bangsakoe Perempoean di Atjeh (1928) – Chairoemi binti M. Hoesain

Chairoemi binti M. Hoesain

1.
Lamalah sudah diangan-angan,
Di dalam kalbu atau timbangan,
Hendak menjelma ke “Pandji” jambangan,
Inilah baru ada lapangan.

2.
Adapun akan kedatangan beta,
Dari Tjalang suatu kota,
Hadjat nan hendak berkata-kata,
Dengan handaiku muda yang po’ta.

3.
Makanya beta datang ke mari
Meriwayatkan nasib bangsa sendiri,
Menanggung duka sehari-hari,
Sejak duluan zaman bahari.

4.
Bangsa Atjeh golongan perempuan,
Banyak yang hidup tidak keruan,
Laksana sirih di luar puan,
Sampai sekarang sejak duluan.

5.
Nasib kami bangsa perempuan,
Di tanah Atjeh aduhai tuan,
Dipelihara tidak bertujuan,
Tamsil abdi tidak berpengetahuan.

6.
Adapun yang lain kawan sebangsa,
Walau di Soematera balai selasa,
Diberi pengadjaran dengan sentosa,
Ganti intan emas suasa.

7.
Untung sungguh bagi mereka,
Tiada dipandang bagai boneka,
Diajar menyulam renda mereka,
Meski ke Eropa atau Amerika.

8.
Bangsa kami terlalu hina,
Tiada berguna walau kemana,
Baik ke Siam ata ke Tjina,
Karena pengajaran kurang sempurna.

9.
Yang diberikan ayah dan bunda,
kepada kami gadis peranda,
Hanyalah intan emas perada,
Akan dipersuntingkan hiasan di dada.

10.
Jika anak orang yang gana,
Empat tingkat bergelang kana,
Bercocok sanggul bertatah ratna,
Bercincin intan cemerlang warna.

11.
Betullah itu besar harganya,
Zaman sekarang kurang gunanya,
Adalah pula yang melebihnya,
Ilmu pengetahuan itulah dianya.

12.
Kami di Atjeh belum berubah,
Ibarat madu manisan lebah,
Baik di gunung atau di lembah,
Seumpama bunga untuk digobah.

13.
Seumpama bunga patik sebutkan,
Tidaklah dongeng yang bukan-bukan,
Waktu disunting baru digunakan,
Diperjual beli ibarat ikan.

14.
Sebab begitu patik paparkan,
Baik di desa atau di pekan,
Kerap nan sudah patik dengarkan,
“Anak perempuan jangan sekolahkan”

15.
Apa guna disuruh sekolah
Kata ayah yang berpikiran salah,
Kelak nan ia berbuat ulah,
Melanggar larangan Nabi dan Allah.

16.
Banyak sungguh umpatan mereka,
Bermacam-macam berbagai aneka,
Betapa ngeri takut dan duka,
Ma’lumlah sudah tuan belaka.

17.
Permintaan kami sidang nan Sitti,
Kepada ayahanda muda nan sakti,
Hasrat yang buruk buang di kaki,
Ajarilah kami dengan seperti.

18.
Wahai ayah kami bangsa punggawa,
Junggungan kami utama jiwa,
Aria ninsun Asmara Dewa,
Cobalah pandang ke tanah Jawa.

19.
Pandanglah gadis-gadis di tanah Sunda,
Bahagian Hindia jajahan Belanda,
Berbagai ilmu penuh di dada,
Penangkal setan datang menggoda.

20.
Wahai ayah kami lela jauhari,
Pandang dan perhatikan di dalam diri,
Betapa mulia gadis bertari,
Sebab pengetahuan telah berseri.

21.
Aduhai ayah dan umi,
Seruan patik Sitti Chairoemi,
Dengan segera pimpinlah kami,
Agar kelak Tuhan rahimi.

22.
Wahai ayah kami sidang nan bapak,
Aturan lama hendaklah campak,
Keadaan kuno baik dikupak,
Kemajuan bangsa timbulnya rampak.

23.
Cukuplah itu waktu yang sudah,
Aturan lama kurang faedah,
Suruh belajar walaupun rendah,
Kemudian boleh bertambah-tambah.

24.
Penutup kalam atau rencana,
Besar harapan beta yang hina,
Bagi saudara yang bijaksana,
Bangsa perempuan walau di mana.

25.
Suka gerangan bersama-sama,
Membuang fikir sejurus lama,
Hatinya beta bukan umpama,
Di ruangan “Panji” sama menjelma.

26.
Hingga ini tammatlah kalam,
Wahai engku redaktur permata nilam,
Berkat tolongan Khalikul’alam,
Mashurlah Hindia seedar alam.

Tjalang, Atjeh

 

Sumber: Doenia Istri, No. 27, Th. VI, 3 April 1928; dikumpulkan dalam Meneer Perlente – Antologi Puisi Periode Awal (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2009)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.