Puisi: Nyaris Lewat Tengah Malam – Zulkifli Songyanan (l. 1990)

Zulkifli Songyanan (l. 1990)
Nyaris Lewat Tengah Malam

1/
Nyaris lewat tengah malam
kuhikmati nasibku
di bawah guyuran
——-cahaya hujan.

Usia baru lewat 27, syukur
——-(atau seharusnya rugi)
aku belum memasuki
——-negeri orang mati.

——-Di luar diri
ada kudengar
——-derum kendaraan
bikin ingar
——-kegelapan.

Cuaca amat gerah
——-dan insomnia.
Kota dan perilaku manusia
——-seolah baru tercipta
dari segala kisah
——-ihwal neraka.

Lalu ada juga kudengar
——-dalam diriku
detak jam demikian ringan
——-menembusi kesunyian.
Jarum-jarumnya yang merah
——-bahkan tampak jadi lebih tajam
tiap kali memandang
——-baris-baris puisiku
——-yang terancam.

Jam berdentang cuma sekali.
Takdir baru digelar
sehabis gema dan kesenyapan ini.

2/
Usia baru lewat 27, memang.
Namun tak jarang
bentangan hidup terasa demikian panjang
——-dan menjemukan.

Padahal ada sejumlah perjalanan
dengan pijar fajar dan rona senja keemasan;
peta demi peta, warna demi warna;
serta aneka suara yang menyibakkan
——-bermacam aib dan rahasia;

ada juga lembar-lembar sumber pengetahuan;
nama-nama perempuan dan tawa;
masa-masa yang getir dan menakjubkan;
bahkan agama—segala yang terasa ganjil
——-dan membosankan.

Sungguh segalanya terasa ganjil dan membosankan.

Mendadak aku sulit terpesona lagi pada apa pun.
Di sini dan kini. Jam sudah lewat tengah malam
——-segala yang kupandang
—————dan segala yang kupandang
tiba-tiba luruh, perlahan
bagai luruhnya penyesalan
——-dari jiwa seorang Adam.

Sungguh aku tak kuasa mengagumi apa pun sekarang.
——-Kecuali Tuhan dan air mata.
Maut dan kebaikan
—————manusia.

Segala yang tampak
menjelma jadi ilusi.
Tak terkecuali
baris-baris puisi ini.

3/
Maka, kalaulah sajak ini harus segera kuakhiri
——-meski usia 27 baru saja kulewati
tentu akan kutulis satu keinginan muluk begini:
——-Puisiku tak bakal mati.
——-Puisiku tak boleh mati.
——-Puisiku tak bakal boleh mati.
Walau telah lewat tengah malam.

Hanya, cukuplah hal demikian kukatakan pada maut
——-bayang-bayang diriku yang sejati.
Naungan yang memberi kasih dan pisaunya
——-ke mana pun aku pergi.

Sumber: Bacapetra, 10 Juli 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *