Puisi: Pulang Aku ke Pantun Lama – Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua

Kelak, awan berarak dalam pantun lama
bukan pertanda air mata. Dan kau yang membaca
tidak lagi bernama si anak dagang
berdendang malang di kota malam.
Seorang penyair telah mengembalikannya
kepada hujan, pada hakikat pengembaraan…

Tak ada air mata. Tak ada dendang
pada lazimnya perpisahan. Hujan akan turun
dan penyair itu membayangkan basah jalan
dan kebun-kebun, mekar anggur dan semi daun
Petiklah! Ini daun duniamu juga, bunga, putik dan buah
dadamu juga. Lupakan kampung-halaman
serta kekasih yang menunggu, agar sempurna
kita pengembara; jauh dari ranah, ibu dan pantun lama:
Awan berarak usah ditangisi!

Tapi di hari yang murung, di perasaan asing terkurung
mengapa awan terasa lebih bermakna
ketimbang hujan yang menyamarkan air mata?
Lalu, apakah memang tak butuh umpama,
tak perlu dendang dan gurindam
bagi si anak terlanjur meratap enggan?

Penyair itu, aku, tiba-tiba bimbang kini menimbang
bahasa kasih dari ibu
tak pernah lekang!

Duh, ibu, bimbang aku, bimbing aku
di jalan-jalan kota jelatang, di kampung-kampung hangus
terbakar, asap yang membubung
Bukan awan. Bukan pula hujan. Tapi api
yang menantang matahari. Maka aku tulis buah ratapan
tanpa bunga sampiran agar jerit si sakit malang
menjadi inti sel segala sesal—mekar dalam hujan

Tapi bertahun-tahun sudah kutulis bait sakit ini, Ibu
Bertahun-tahun pula api membakar
segenap catatan. Kota-kota penuh duri
asap terus menari. Matahari terbit juga
hujan pun turun. Mekar kebun di mana-mana
tapi bukan milik kami. Bukan milik kami
Bahkan jalanan basah menyerap bayangan kami
jadi pengembara kekal, tak pulang lagi. Lalu apa arti puisi ini
jika tak sanggup menampung dendang sedih dinihari?

Maka dengan berlagu dendang kini
aku menulis duri dan bara api dari asap yang menari
terus menari, membubungkan kalimat dan bait-bait sajakku
ke langit tinggi—peraman anggur duka perantauan
Jadilah awan, jadilah hujan. Suburkan, gugurkan:

Buah-buah ratapan, bunga-bunga rindu
kampung-halaman, duri-duri randu dan tikar pandan
Pun tangisan, kalimat-kalimat tuhan, dalam dendang malang
Si anak dagang—ingin tak sepi jauh terbuang…

/rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004

Sumber: Api Bawah Tanah (Akar Indonesia, Yogyakarta; Cetakan : I, Oktober 2013)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *