Puisi: Sahabat – Amarzan Ismail Hamid (l. 1941)

Amarzan Ismail Hamid (l. 1941)
Sahabat

Tentang GM

setelah selang sehari
burung-burung pun terbang
mencari sarang – di negeri yang hilang
kita tak pernah sungguh-sungguh pulang
– tak pernah
dari berbenah ke berbenah
tangan yang menulis tak kunjung sudah
hingga lampu padam
kota kehilangan arah
engkau memberi tanda pada peta
tapi laut itu telah lama lupa
pada bintang dan mata angin
dan merpati yang kita lepas
mencari Sokotra
tersesat di ufuk tiada.

 

Tentang WP

menyeberangi alun-alun kota
angin menyesah dukamu yang basah
betapa panjang sesal
antara rantau dan kampung halaman
burung-burung gagak dari utara
telah tiba dinihari tadi
menatap sabar lampu kota yang lindap
menjelang senja
sesungguhnya kita tidak di sini – katamu
tetapi di Katwijk, pesisir tempat nelayan
membongkar kapal
dan iman yang kekal.

 

Tentang Wiratmadinata

lepas selasar terbuka
tujuh langkah ke arah pukul satu
makam kecil itu selalu memanggilku:
Yahwa, bila lagi datang bertamu?
tanah menjadi sangat basah – pagi itu
lorong-lorong menyesatkan arah
menyembunyikan rumahmu
di balik rimbun perdu
langit yang rindu
hingga tiba malam
dalam kelebat kelam.

 

Tentang OS

berdiri di balkon hotel kuna itu
menatap Sanur
laut malah tampak kelabu
matamu menyapu lazuardi yang biru
puisi itu telah lama meninggalkan kita
– lama sekali
sebelum terbit matahari
malam belum lama lewat
tinggal bayang resam tubuhmu
seolah tak sudah
di ranjang berkarat.

 

Tentang Diro

teringat engkau teringat Sanleko
laut nirmala Jikumerasa
teringat ladang-ladang sagu
negeri kayu putih
teringat engkau teringat air mata
usia yang terkikis
belantara bencana
malam yang gigil
amarah hutan dam semayam dendam
sumpahmu di sana terekam.

 

Tentang Zubir

semoga engkau tak pernah ke sini, katanya
semoga kita tak berjumpa di sini
di Kalisosok yang indah
penuh kenangan haram jadah
ia pun mati perlahan-lahan
dalam pangkuan kelaparan
dan sepucuk pesan:
Zan, cari anakku kapan-kapan.

 

Tentang El

di tepi hutan suaka ini
hanya kita berdua
sebatang sungai tak berhulu
tak berkuala
sipongang rimba
bagai pekik jembalang
merayakan dendam
anak menjangan yang tertikam
tetapi sejarah tak pernah berulang
di tepi hutan suaka ini
seperti dahulu
lama hanian.

Cikarang, 2015

Sumber: Kompas, Minggu 16 Agustus 2015

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.