Puisi: Sambal Seruit, di Sore Berhujan – Ags Arya Dipayana (1961-2011)

Ags Arya Dipayana (1961-2011)
Sambal Seruit, di Sore Berhujan

: Iswadi

Sekiranya tujuh orang teman bertandang di suatu sore
berhujan. Beberapa ekor ikan yang kau pancing di sungai
sewaktu kau kecil dulu – baung, belida atau layis, akan sangat
membantu: melahirkan tawa, canda, mungkin satu puisi.

Selayaknya enam orang teman mampu menyiapkan
pesta bersahaja dalam satu jam. Memotong dan menyiangi
ikan, membakarnya di atas perapian. Sementara kau memilih
siapapun yang akan menjadi korban.

Sepantasnya lima orang teman memahami segala yang
diperlukan. Merajang tempe, memotong-motong sayur lalapan,
mengiris mangga – jika tempoyak tak ada. Juga memanggang
terungnya. Senyum dikulum, hati berdebar, bukan hal besar.

Sebaiknya tak lebih dari empat orang teman tahu rahasia sambal itu.
Terasi udang, garam dan gula pasir sekedarnya. Rampai juga.
Jumlah cabe merah itu menentukan jalannya upacara makan.
Rasa pedas, air mata dan gelak tawa tanpa rasa berdosa.

Semestinya tiga orang teman menggoreng telur ceplok, ikan asin,
menanak nasi dan menyiapkan arena pesta. Sementara kau
tenggelam dalam tawa tertahan, dalam mimpi perihal
bagaimana persahabatan harus dinikmati.

Seharusnya dua orang teman pergi membeli serbat dan jus kwini,
minuman sedap sehabis makan-makan. Kau bayangkan menghirup
kembali kenangan, menyimak kembali catatan tercecer seraya
melanjutkan percakapan.

Setidaknya dapat kalian seruit satu orang teman, kalau saja tidak kau
lupakan Sayur Asam itu. Makanan penutup yang akan meredamkan
rasa kesal itu. Bukan yang terpenting, namun tanpanya akan
batal seluruh rencana. Sayangnya

Kompas, Minggu, 19 April 2009

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *